Lihat ke Halaman Asli

Kamaruddin Azis

TERVERIFIKASI

Profil

Blusukan Jokowi dan Pisau Tumpul Perencanaan

Diperbarui: 2 Agustus 2017   11:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di atas Hati Buana Setia (foto: Solopos)

Jokowi-JK adalah harapan besar Indonesia. Adalah dua pucuk pengambil kebijakan yang bisa mengetuk palu pengalokasian sumber daya pembangunan nasional dengan gagah berani. Mana boleh, mana tidak. Sejatinya, mereka adalah koridor 'perubahan yang direncanakan' setelah pertimbangan-pertimbangan luhur dan terukur.

Kita mafhum pasangan tersebut meraup 53,15% atau 70.633.576 suara rakyat untuk menuju istana perubahan. Dari mereka, perubahan-perubahan substantif dan strategis bagi Negara disematkan.

Capaian fundamental dan menggetarkan dari Kota Solo menjadi alas mengapa rakyat begitu mengelukkan Jokowi. Karena itulah si pengusaha mebel melenggang ke puncak tertinggi Negara, pada negara dengan luas kedua terbesar di Asia atau ketujuh di dunia setelah Rusia, Amerika Serikat, China, Brazil dan Australia. Berbekal pengalaman dari mengelola kompleksitas Solo, Jokowi dipercaya warga Jakarta untuk memimpin ibukota berpenduduk nyaris 10 juta itu (2014).

Banyak orang menyebut keunggulan Jokowi adalah pada leadership-nya mengelola kompleksitas dengan cara yang sederhana dan ringan. Leadership yang ditunjukkan dengan gaya berkomunikasi cair dan gamblang. Membahasakan dan menghembuskan visi ke telinga dan mata warga dengan bahasa 'ndeso', sifat dasar manusia Indonesia yang jauh dari kesan skenario, apa adanya dan anti-mainstream.

Tak serupa pemimpin yang malas gerak, lamban dan betah di ruangan ber-AC. Jokowi memboyong modal dasar layaknya perencana kawakan. Kemana-mana bawa telinga, menyiapkan lidah dan sebuah pisau bedah yang terselip di anusiasmenya pada pernak-pernik akar rumput.  

Modal dan model perencanaan

Berdasarkan model pendekatan dalam mengelola kompleksitas pemerintahan di Solo dan Jakarta, Jokowi memekarkan atensi publik bahwa Pemerintahan yang baik adalah ketika pemimpin menghamba rakyat, mendengarkan dan ikhlas membicarakan agenda-agenda perubahan berdasarkan data informasi yang tersedia dan verifiable.

Dengan blusukan-nya, kita akhirnya sadar bahwa persoalan selama ini yang membelenggu NKRI adalah ketiadaan jembatan telinga pada hulu-hilir persoalan. Kegagalan hati perencana membaca gejala dan ketidakmampuan menggerakkan tangan dalam mengalokasikan sumber daya melalui program pembangunan partisipatif yang melibatkan hati.

Dengan blusukan, kita menyadari bahwa demo sosial dimana-mana tak melulu urusan perut tetapi lebih dari itu.  Demo bisa datang dari sungai yang disodet, dari pantai yang digerus, dari pasir yang ditambang, dari terumbu karang yang dibom, dan lain sebagainya.

Dengan blusukan, Jokowi menyadarkan kita bahwa selama ini yang dilakukan oleh barisan teknokratik (you name it, Barkeley, Harvard, atau apalah) dalam perencanaan (yang ngadem di lembaga-lembaga perencanaan) adalah pengingkaran hakikat perencanaan pembangunan yang meniscayakan rekonfirmasi ke rakyat. Karenanya banyak proyek mangkrak dan hanya melahirkan harapan semu untuk investasi tambahan. Tak efektif, tak efisien.

Maka blusukan Jokowi berkelebat seperti pisau bedah yang berhasil memutus siklus perencanaan dengan sekali sayat. Pesan bahwa para pengambil kebijakan (policy makers) tak bisa lagi hanya duduk berpangku tangan di belakang meja, main golf, diaturkan makan malamnya, tur mewah ke luar negeri bersama keluarga, ha-ha-hi-hi dengan pejabat asing atau hanya mengelus mobil-mobil mewah keluaran terbaru.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline