Lihat ke Halaman Asli

fadael

Pembelajar Sejarah

Literasi sebagai Mentalitas dalam Bermedsos

Diperbarui: 18 Juni 2019   07:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pada era digital seperti sekarang ini, internet rupa-rupanya menampakan dirinya dalam dua wajah, satu malaikat sementara sisi lainnya bermuka iblis. Intenet dengan segala kemudahan dan kecepatan informasinya membuat setiap orang di belahan bumi manapun dapat mengetahui informasi yang sebetulnya juga jauh terletak di belahan bumi lainnya.

Namun, alih-alih menyebutnya  sebagai "malaikat", kebanyakan dari kita menstranformasikan internet justru dalam wujud iblis bernama media sosial dengan ragam kanalnya, seperti facebook, Whatssap, line dan sebagainya. 

Lagi-lagi, dengan kemudahan dan kecepatan informasinya, seringkali berbagai platform media sosial itu digunakan justru untuk mengumbar kebencian hate speech antar sesama dengan dasar politik, ras bahkan agama lalu meneruskan forward padahal belum jelas kadar kebenarannya.

Internetisasi dalam kehidupan manusia sejatinya memiliki dampak yang cukup seurius dalam cara kita memandang kebenaran. Sebelum dikepung oleh internet yang menawarkan segala kemudahan dan kecepatannya, informasi adalah hal yang mahal dan barangkali sulit untuk ditemukan. Namun berbeda dengan keadaan sekarang, informasi justru yang "datang" dan menghampiri manusia dengan deras-sesaknya.

Penemuan akan informasi menjadi sangat mudah dan instan.

Dari derasnya arus informasi yang gencar dan terus menerus, maka yang terjadi adalah kebingungan yang meluas. Informasi apapun yang "datang" sejatinya akan disambut: air keruh sekalipun akan laku dalam pasar yang kehausan dan kebingungan.

Akibatnya, manusia cenderung abai dalam memilih dan memilah informasi. Tidak penting apakah informasi itu hoaks, bertanggung jawab atau tidak; begitulah post truth era. Setiap dari kita hanya perlu percaya informasi tanpa perlu mencari kebenaran dari informasi yang kita percayai.

Bias konfirmasi 

Manusia adalah  mahluk echo chamber. Ia hidup dalam ruang gema, dalam artian kita hidup di "alam" prefensi masing-masing. Kita cenderung hanya mendengar apa yang kita percayai dan hanya percaya apa yang mau kita dengar, manusiawi.

Ketika kenyataan tidak berjalan sesuai dengan ekspetasi, maka kita cenderung mencari kambing hitam ketimbang mengoreksi diri sendiri. Inilah sejatinya yang terjadi dalam jagat media sosial dewasa ini. Setiap dari kita terlalu sering mencari kambing hitam atas pemahaman dan keyakinan informasi kita sendiri, tanpa mau melihat adanya alternatif informasi yang lain, ironis.

Terlebih platform media sosial, memiliki satu fitur untuk mempertajam echo chamber itu, yakni recommended pages. Di mana kita ditunjuk untuk mengikuti berita dan informasi yang sesuai dengan pandangan dan prefensi masing-masing. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline