Kepada orang tuaku
Kematianku tak pernah menakutiku. Aku membayangkannya seperti manis madu di kertas kecil membungkus daun yang membuatku candu; melegakan, menenangkan, menggali lubang penuh bara di lambungku, membakar rongsokan cemas di dada dan kepala
Namun, ketika muncul kematian berbeda, gumpalan asap berubah kawat, tersangkut di lorong tenggorokan, menjerat nafas yang merangkak sekarat.
Dan perasaanku, sepotong roti kismis terpotong menjadi noktah, diiris-iris gergaji pedih dan perih, begitu bengis, membuat mata malam meringis.
--ialah bayangan tubuh dua malaikat, terbujur membatu di ranjang berulat, menanamkan senyum di bulan pucat, menanti gelap-sempitnya liang lahat.
; meninggalkanku, meninggalkan riang di meja makan dan album foto usang, menancapkan duri-duri beracun getir yang menusuk-nusuk hati penuh satir.
Dan aku, melihat diriku kupu-kupu biru, kehilangan nektar mawar--nutrisi waktu, terbang limbung tanpa tahu arah, mengitari sepi yang semakin merekah.
Pada saat itulah keheningan membatin dengan bahasa langit mengatakan ingin ditimpa maut sebelum kesepian meluas dan gema sunyinya terdengar membuas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI