Lihat ke Halaman Asli

charles dm

TERVERIFIKASI

charlesemanueldm@gmail.com

Kemanusiaan Terlindas Laju Kereta

Diperbarui: 16 Januari 2017   16:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi penumpang berdesakan di KRL/Tribunnews/Hasanuddin Aco

Pintu terbuka, setelah dari jarak beberapa meter sebelumnya masinis sudah berkabar. “Beberapa saat lagi KRL akan tiba di Stasiun Kebayoran, Jakarta Selatan.” Manusia tumpah tak lama setelah pintu otomatis itu menganga diiringi lenguhan dan kasak kusuk. “Permisiii.” “Ada yang mau turun, kasi jalan, kasi jalan.”

Perempuan dan laki-laki, pun tua dan yang muda, berpenampilan parlente juga berdandan apa adanya berdesak-desakan, entah mencari jalan keluar, atau segera mengatur posisi pada celah-celah punggung dan bokong. Masinis hanya memberi waktu tak lebih dari satu setengah menit untuk aktivitas “turun-naik” penumpang. Waktu tunggu itu terasa amat berharga bagi penumpang di sekitar pintu kereta yang telah sekian menit terpenjara dalam gerbong yang penuh-sesak. 

Mereka bisa menyesap udara baru dari luar kereta. Begitu juga kepala-kepala berkeringat dengan penuh syukur menjemput hawa baru. Namun sembilan puluh detik bisa menambah siksa para penumpang yang terlanjur terjepit dan tak tak bisa bergerak walau untuk sekadar memutar badan. Di benak mereka hanya ada satu harapan. Kereta segera melaju, menuju stasiun tujuan. Dengan demikian siksa perjalanan berakhir sudah.

Di setiap stasiun pemberhentian itu kita hanya mendapatkan orang yang turun dan naik. Ya, sebagai moda transportasi umum, stasiun adalah tempat singgah untuk menurunkan dan menjemput penumpang. Tidak lebih dari itu.

Namun konteks stasiun KRL sebagai moda transportasi publik yang diandalkan warga Jabodetabek bisa menjadi lain. Seperti digambarkan sekilas di atas, stasiun adalah tempat menarik nafas lega, ruang pembebasan dari desakan, dan gesekan, serta tempat privasi dan kemanusiaan kita kembali. Seperti pagi ini, dalam perjalanan dari Stasiun Sudimara menuju Stasiun Tanah Abang, saya mendapatkan kenyataan itu secara kasat mata.

“Sabar..sabar... ada yang pingsan.” Saya yang berada di antara kerumunan penumpang yang masih tersandera dalam gerbong kereta segera mencari-cari arah suara. Di pojok kursi, persis di samping pintu yang tengah terbuka seorang ibu terpaku. Wajahnya pucat, berlumuran keringat.

“Ayo dibantu..dibantu.”  

“Ah orang pingsan masa disuruh jalan,” beberapa suara mengomentari laku dua pria yang berdiri di depan wanita itu. Keduanya mencoba menarik kedua tangan wanita itu untuk diajak keluar.

Percuma. Jangankan berjalan, berdiri saja wanita itu tak mampu. Ya, namanya juga pingsan. Seorang petugas kemanan stasiun segera masuk. Melalui handy talky,ia meminta masinis tidak segera menutup pintu.

“Tahan pa..ada yang pingsan...” sang petugas yang mulai terjepit pintu kereta yang mulai bergerak menutup mengulangi. Suara desis pintu terus terdengar. Sang masinis sepertinya tak sabar untuk segera melajukan kereta. Bisa jadi, sinyal hijau dan pekikan dari pengeras suara di stasiun telah memberi tahu.

Empat pria segera menggendong wanita itu keluar kereta. Dalam kebingungan, mereka pun menidurkannya di peron. Hanya berjarak beberapa cm dari pintu kereta. Tanpa menunggu lama keempat pria itu segera melompat ke dalam kereta. Pintu tertutup. Kereta melaju pergi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline