Lihat ke Halaman Asli

charles dm

TERVERIFIKASI

charlesemanueldm@gmail.com

Sengkarut Nikah Dini dan Jalan Panjang Menuju SDGs 2030

Diperbarui: 28 Agustus 2016   20:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejumlah pelajar mengkampanyekan nikah berencana sebagai bagian dari program GenRe (Generasi Berencana) di Kota Kediri, Jawa Timur, Minggu (6/12/2015)/Gambar: JIB/Solopos/Antara/Prasetia Fauzani.

Tampaknya bukan kebetulan peringatan Hari Anak Nasional, 23 Juli dan Hari Keluarga Nasional (Harganas) sepekan kemudian (29 Juli), dirayakan dalam waktu berdekatan dan jatuh pada bulan yang sama. Dua momen itu hanya memiliki judul berbeda (anak dan keluarga) karena pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Antara anak dan keluarga sama sekali tak bisa dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dari sebuah mata uang. Dapatkah kita berbicara tentang anak tanpa menyertakan keluarga? Pun sebaliknya, bisakah kita menafikan anak dari topik pembicaraan tentang keluarga?

Ketakterpisahan kedua hal itu semakin tak terbantahkan melihat realitas saat ini. Aneka persoalan yang menyasar dan mengorbankan anak menghiasi ruang publik kita dengan keluarga sebagai sasaran kritik dan sorotan.

Ada persoalan tentang vaksin palsu yang menghebohkan keluarga-keluarga di Tanah Air setelah terkuak beberapa waktu lalu usai bebas beredar dalam senyap sejak 2003. Ada pula peredaran sejumlah makanan ilegal (antara lain biskuit, wafer, dan permen) yang disita Badan Pengawas Obat dan Makanan di Kota Tangerang, Banten dan Gresik, Jawa Timur dalam waktu berdekatan (Rabu dan Kamis, 4 Agustus, bdk. Kompas,Jumat 5 Agustus 2016, hal.13) sehingga membuat para keluarga was-was.

Selain itu, beberapa contoh kasus pemerkosaan pada remaja dan anak di bawah umur di sejumlah tempat melengkapi persoalan kekerasan pada anak baik yang kasat mata seperti kekerasan fisik dan seksual maupun yang tak kelihatan seperti kekerasan psikologis dan kurang gizi.

Secara statistik, menurut data Kementerian Sosial tahun 2016, sebagaimana dilansir Kompas,Rabu 27 Juli 2016 hal.11, hampir 50 persen masalah yang dialami anak terindentifikasi sebagai kekerasan seksual. Masih menurut sumber yang sama, dari 12.298 anak yang menjadi korban, sebanyak 1.909 anak adalah korban kekerasan seksual dan 5.090 anak tengah berada dalam situasi darurat yang sedang ditangani di 18 Rumah Perlindungan Sosial Anak.

Ironisnya, menurut riset, kekerasan pada anak, seperti kejahatan seksual, dilakukan oleh orang di lingkungan terdekat, termasuk keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan sosial semakin tak nyaman dan ramah anak. Sebagai institusi vital untuk tumbuh kembang dan locusutama perlindungan anak, keluarga mesti berada di garda depan untuk mengantisipasi dan menghindarkan anak dari kemungkinan terjadinya pelecehan dan tindak kekerasan seksual.

Pada titik ini posisi keluarga sungguh dilematis. Di satu sisi, peran penting keluarga tak tergantikan bagi tumbuh kembang anak. Sementara di sisi lain, keluarga menjadi sorotan atas sejumlah kasus yang melibatkan orang-orang terdekat.

Pemerintah pun mengambil sikap. Mengoptimalkan program Pengasuhan Anak Berbasis Keluarga sesuai dengan standar nasional pengasuhan. Namun, patut diakui, langkah tersebut merupakan satu dari sekian banyak kemungkinan yang lebih menyasar pada keluarga yang sudah terbentuk.

Padahal mempersiapkan dan membangun fondasi yang kuat jauh lebih mendasar.  Selain demi menjauhkan keluarga dari aneka persoalan, juga membentuk keluarga yang berkualitas tidak saja sejahtera secara fisik dan material, juga aman, nyaman dan dipenuhi kasih sayang sebagaimana amanat Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994. Di sana digariskan fungsi utama sebuah keluarga yang mencakup delapan aspek yakni keagamaan dan keimanan; sosial budaya (sosialisasi, pembentukan norma, etika dan etiket); cinta kasih (perhatian, kasih sayang dan rasa aman); perlindungan; reproduksi (meneruskan keturunan, memelihara dan membesarkan anak); sosialisasi dan pendidikan; ekonomi (pemenuhan kebutuhan, pengaturan penghasilan); dan peran pembinaan lingkungan.

Delapan fungsi keluarga berikut penjelasannya/gambar dari planninggeneration.blogspot.com

Sengkarut Nikah dini

Mengingat peran penting keluarga dengan delapan fungsi yang harus dimainkan seperti disinggung di atas, maka pembentukan keluarga bukan perkara gampang. Tak heran regulasi di negeri ini pun menggariskan syarat usia pernikahan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mensyaratkan usia minimal perempuan yakni 16 tahun. Sementara Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) serta Badan Penasihat Perkawinan dan Perceraian Kementerian Agama malah menganjurkan usia ideal untuk menikah yakni 20 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline