Lihat ke Halaman Asli

charles dm

TERVERIFIKASI

charlesemanueldm@gmail.com

Saat Anies Baswedan Antar Muhadjir ke "Gerbang" Sekolah

Diperbarui: 27 Juli 2016   22:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anies Baswedan menyambut Muhadjir Effendy sebelum serah terima jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kartika Sari Tarigan/detikcom)

Hari ini, Rabu, 27 Juli 2016, suhu ruang publik Indonesia panas. Hawa yang mulai terasa sejak sepekan terakhir-berupa instruksi Presiden Jokowi kepada para menteri untuk tak meninggalkan Ibu Kota- yang distimulus oleh anasir ekonomo, sosial dan politik, mencapai titik didih pada siang ini. Pergantian kabinet untuk kedua kalinya pada masa kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, terjadi.

Seperti reshuffle edisi pertama, ada reposisi. Ada pula yang benar-benar lengser sehingga diganti muka baru. Namun, sebagian besar yang mengisi pos pembantu presiden adalah muka lama yang selam ini wara-wiri di lingkaran kekuasaan.

Satu dari sedikit profesional, sekaligus sedikit dari kumpulan yang “terbuang” adalah Anies Baswedan. Sejak 27 Oktober 2014, mantan rektor Universitas Paramadina itu menjalankan amanat sebagai menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sejak hari ini, kursi utama di kementerian yang terletak di kawasan Senayan itu ditempati oleh Profesor Muhadjir Effendy.

Tentu, aneka polemik menimpali lagu lama drama politik ini. Pro-kontra mencuat, menjadi hal biasa. Kini, pilihan terbaik adalah menanti kiprah kabinet kerja Jilid II ini karena hidup kenegaraan kita tak berhenti di sini.

Walau getir, refleksi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said sehari sebelum digusur, cukup menyentuh.  "Setelah kita ada di puncak bukit, hanya ada satu jalan ke depan. Karena itu setiap sampai di puncak bersiaplan turun setiap saat (Detik.com, 27 Juli 2016)."

Permenungan Sudirman cocok menggabarkan nasib setiap pemimpin di negeri ini . Namun, kata-kata tersebut bisa jadi ungkapan penghiburan setelah kehilangan jabatan penting. Bila taka was mencerna, bisa saja mengikis nyali dan menggerus energi setiap penerus.

Sebagai pengganti Anies, Muhadjir seyogyanya tak perlu merisaukan posisi. Hal penting yang harus ditunai adalah melanjutkan estafet kepemimpinan di salah satu kementerian yang kepadanya arah dan masa depan Indonesia digantung. Seperti Anies, selama hampir dua tahun, ia telah berjuang untuk memajukan pendidikan Indonesia.

Dalam waktu yang cukup singkat untuk rencana besar membangun masa depan Sumber Daya Manusia Indonesia yang unggul, pria kelahiran Kuningan, Jawa Barat, 47 tahun silam telah menggebrak dengan sejumlah gagasan dan gerakan. Bahkan beberapa dari antaranya muncul jauh sebelum menjadi menteri.

Beberapa dari antaranya adalah Gerakan Indonesia Mengajar untuk menjangkau pendidikan hingga pelosok-pelosok negeri yang sudah digalakan sejak akhir 2009, Gerakan Indonesia Menyala untuk “membukukan” Indonesia (menyebarkan buku-buku ke kawasan terpencil), Gerakan Literasi Sekolah, dan pembaharuan kebahasaan melalui Permendiknas 46/2009 yang membekukan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan diganti dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.

Terkini, di tahun ini, doktor ilmu politik itu menggagas Gerakan Membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai dan Gerakan Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah yang digelorakan di awal tahun ajaran baru ini.

Terlepas dari sejauh mana realisasi program tersebut, dan seperti apa pertimbangan Muhadjir Effendy nanti, itikad baik Anies tersebut sepatutnya dipertahankan. Jalan yang sudah dirintis Anies, perlu diperbaharui bila ada kekurangan yang mengganjal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline