Lihat ke Halaman Asli

Chairil Anwar B.

Pekerja Kasar

Ayah dan Kerbau Besi

Diperbarui: 6 Juni 2023   22:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ayah sudah tua. Badannya bungkuk, dan urat-urat tangannya yang menjalar mengingatkan saya pada akar pohon Ketapang di halaman sekolah. Tapi ayah bukan pohon. Ia tak menjadi lebih kuat meskipun urat tangannya timbul dan warna kulitnya serupa daun salam dalam belanga. Soal mengapa ia bisa terlihat seperti itu, saya kira Ebit G. Ade telah menggambarkan -- bahkan secara jelas -- lewat lagunya, Titip Rindu Buat Ayah, yang kadang-kadang saya nyanyikan sambil lalu. Bersama bait-bait lagu itu, mau tidak mau ingatan tentang ayah muncul begitu saja.

Ayah, bagaimanapun, hanya lelaki biasa. Ia lahir di desa dan pengetahuannya tentang bercocok tanam ia peroleh melalui jalan praktik lapangan -- kebanyakan orang tua di kampung kami juga begitu. Ayahnya, atau kakek saya, yang meninggal ketika saya masih kanak-kanak, yang mengajarinya cara bercocok tanam. Sebelumnya, ayah dari ayah saya juga memperoleh pengetahuan bercocok taman melalui jalan praktik lapangan; amati dan tiru.

Tetapi ayah saya, yang terpengaruh iklan wajib belajar sembilan tahun, tidak mengizinkan saya dan saudara-saudara saya turun ke sawah. Ia lebih senang melihat saya pergi ke sekolah ketimbang meniru caranya memegang pacul. Saya kira ibu saya juga merasa senang meskipun saya tidak melihat kesenangan itu melebihi sarapan singkong dan secangkir teh yang setiap pagi tersedia di meja dapur.

Ayah mempunyai tiga bidang sawah dan sudah bertahun-tahun ia menggarapnya secara tradisional. Namun, karena usia dan nafas dan persendian yang sering bermasalah, ayah mulai sering berbicara tentang 'kerbau besi' -- itu istilah yang ia gunakan untuk menyebut Traktor Rotary, alat pembajak sawah. Pengetahuan ayah tentang kerbau besi ia peroleh ketika Bang Dadu, tetangga kami yang berambut panjang itu, yang disebut-sebut sebagai petani milenial, membawa alat itu dari kota. Dengan posisi jongkok sambil merokok, ayah mengamati setiap inci mesin itu dengan pandangan yang mengesankan ketakjuban. Sesekali ia berjalan mengitarinya, berhenti sebentar untuk menggeleng-geleng, berjalan lagi, berhenti lagi, menggeleng-geleng lagi, dan terus seperti itu sampai ia merasa puas.

Setelah hari itu, atau keesokan harinya, terdengar bunyi mesin di salah satu petak sawah milik Bang Dadu. Suara itu sebenarnya tidak begitu kuat dan tidak mengganggu siapapun, tetapi karena bagi ayah suara itu lebih seperti memanggil, ia pun melepas pacul dan bergegas menyurusi pematang setelah menyulut sebatang rokok. Malamnya, sekali lagi, ayah bicara soal kerbau besi. Caranya berbicara lebih seperti meracau.

Pada saat ayah meracau, aku membayangkan ia sedang menunggang kerbau besi; tangannya memegang stang yang bergetar, sedang tubuhnya bergoyang-goyang hebat. Setelah turun, ia merasa perlu mengganti bantalan tempat duduk karena terlalu tipis.

Bagi para petani di beberapa negara maju alat-alat semacam traktor bukan sesuatu yang menakjubkan. Revolusi industri yang dimulai pada pertengahan abad ke-17, bagaimanapun, mendorong berbagai sektor -- termasuk pertanian -- untuk melakukan produksi dalam jumlah besar. Pada saat yang sama, secara tidak langsung, para ahli terus mengembangkan berbagai alat yang dapat meningkatkan produktivitas. Pada masa kini, dengan alat-alat yang memungkinkan percepatan pengolahan, misalnya penggarapan lahan, penanaman, pemanenan, ditambah campur tangan pemerintah dalam bentuk bibit dan pupuk, termasuk cairan pembasmi hama, sudah barang tentu akan meningkatkan hasil panen.

Para petani di China, misalnya, yang merupakan negara pengekspor beras terbesar di dunia sejak beberapa tahun belakangan, juga memanfaatkan berbagai teknologi untuk mempercepat proses pengolahan lahan, pembibitan, penyemaian, di samping perawatan dan pemanenan. Mereka juga membagikan video-video bagaimana cara mereka bercocok tanam melalui Tik Tok (milik mereka juga). Kadang-kadang, pada saat melihat video itu, diam-diam saya bersepakat dengan diri sendiri, "kalau begini caranya, ya, wajar kalau mereka bisa menjadi negara pengekspor beras".

Ayah saya, tentu saja, tidak tahu bagaimana para petani di negara lain bercocok tanam. Ia pernah menduga kalau para petani di tempat lain mempunyai banyak kerbau yang besar dan kuat. Dengan tenaga kerbau itu, ditambah kerja sama antar anggota keluarga, hasil panen menjadi lebih banyak.

Dugaan ayah soal kerbau besar itu, kalau saya tidak keliru, ia dapat setelah melihat sapi kurban milik pejabat yang berasal dari kampung kami. "Ini sapi dari Australia," kata si sopir yang membawa sapi itu ke masjid kampung kami. Ayah hanya mengangguk sambil berdecak kagum.

Sewaktu masih kecil, kata ayah, orang tuanya memiliki dua ekor kerbau dewasa. "Hitam warnannya". Ia selalu senang saat berdiri di bantalan kayu sementara kerbau-kerbau berjalan sesuai arah tali kokang yang ia pegang; jika ia ingin kerbau-kerbau itu belok ke kiri, ia akan menarik tali kokang ke arah kiri; dan jika ingin kerbau-kerbau berbelok ke kanan, ia tahu cara melakukannya. "Tapi kerbau besi jauh lebih bagus," katanya. "Kita tidak perlu menyiksa hewan" -- saya curiga ayah menyampaikan hal ini karena ia sangat menginginkan traktor, bukan karena ia pecinta hewan. Bagaimanapun, ia sudah tua, dan orang tua biasa bersikap seperti kanak-kanak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline