Presiden Prabowo Subianto secara resmi meluncurkan Daya Anagata Nusantara (Danantara) di Istana Kepresidenan Jakarta beberapa waktu lalu. Dalam pidatonya, Prabowo menekankan bahwa Danantara bukan hanya badan pengelola investasi, tetapi juga solusi strategis untuk mengoptimalkan $ BUMN$ . Presiden menyatakan bahwa Danantara akan menginvestasikan dividen BUMN ke industri yang mendukung pertumbuhan jangka panjang dan mentransformasi BUMN menjadi pemimpin kelas dunia. Selain itu, Prabowo juga menyoroti pentingnya Danantara dalam mensejahterakan masyarakat, mengingat masih ada anak-anak yang kelaparan di Indonesia meskipun sudah hampir 80 tahun merdeka.
Peluncuran Danantara tidak terlepas dari konteks pembentukan Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang baru, hasil dari revisi ketiga. Dalam kerangka ini, Presiden Prabowo menyampaikan niat baik untuk memperkuat posisi BUMN dalam perekonomian nasional. Ia menekankan pentingnya restrukturisasi BUMN agar lebih efisien dan mampu bersaing di tingkat global. Niat ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas, meningkatkan pelayanan publik, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, di balik niat baik tersebut, muncul berbagai pertanyaan dan tantangan, tidak hanya terkait implementasi kebijakan, tetapi juga pada tahap formulasi kebijakan itu sendiri, terutama mengenai transparansi, akuntabilitas, dan pengaruh kelompok kepentingan. Apakah lahirnya superholdings tersebut untuk kepentingan publik atau untuk kelompok kepentingan menjadi isu menarik.
1. Teori Kelompok Kepentingan (Interest Group Theory)
Teori ini menekankan bahwa kebijakan publik sering kali dibentuk oleh kelompok-kelompok kepentingan yang memiliki pengaruh kuat terhadap pemerintah. Dalam konteks superholding BUMN, beberapa poin penting yang perlu diperhatikan atau menjadi checklist, misalnya berkaitan dengan kelompok kepentingan yang terlibat: Dalam pembentukan superholding BUMN, kelompok-kelompok yang terlibat mencakup birokrat, eksekutif BUMN, dan kelompok bisnis tertentu. Mereka memiliki kepentingan langsung dalam restrukturisasi BUMN dan dapat mempengaruhi keputusan yang diambil oleh pemerintah. Kemudian tentang pengalokasian sumber daya publik, Teori ini menengarai mengalirnya sumber-sumber dana termasuk APBN yang memudahkan atau menguntungkan pihak-pihak tertentu. Misalnya, manajemen BUMN atau sektor tertentu yang diuntungkan dari kebijakan ini dapat memperoleh manfaat lebih besar dibandingkan masyarakat luas.Selanjutnya adanya pertimbangan politik dan okonomi, bahwa keputusan untuk membentuk superholding lebih dipengaruhi oleh pertimbangan politik dan ekonomi yang menguntungkan kelompok tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak semata-mata dirancang untuk kepentingan publik, tetapi lebih untuk memenuhi agenda kelompok-kelompok yang memiliki pengaruh.
2. Teori Kepentingan Publik (Public Interest Theory)
Teori ini berpendapat bahwa kebijakan publik seharusnya dibuat untuk melayani kepentingan masyarakat luas. Dalam konteks superholding BUMN, jika teori ini diterapkan, maka sudut pandangnya adalah kesejahteraan. Pembentukan superholding harus bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, pelayanan publik, dan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Kebijakan ini seharusnya dirancang untuk memberikan manfaat yang merata bagi masyarakat. Pada praktiknya, efektivitas BUMN dalam melayani kepentingan publik sering diperdebatkan. Jika terdapat masalah tata kelola atau kepentingan politik yang terlibat, maka tujuan untuk melayani kepentingan publik dapat terabaikan.
Superholding memiliki mekanisme pengawasan yang berbeda dari entitas BUMN lainnya, karena pemeriksaan oleh BPK dan KPK hanya dilakukan atas permintaan DPR. Model pengawasan ini menimbulkan perdebatan mengenai efektivitasnya dalam memastikan akuntabilitas. Dalam konteks teori kepentingan publik, kebijakan yang dirancang untuk kesejahteraan masyarakat seharusnya dilengkapi dengan mekanisme pengawasan yang ketat dan transparan untuk menghindari potensi konflik kepentingan serta meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan sumber daya. Dengan status yang tidak dikategorikan sebagai keuangan negara, kelompok tertentu dalam pemerintahan dan bisnis dapat lebih leluasa mengelola sumber daya tanpa pengawasan yang ketat. Hal ini menciptakan risiko bahwa kepentingan kelompok tertentu akan lebih diutamakan dibandingkan kepentingan publik secara keseluruhan.
Penggunaan dana publik melalui suntikan APBN tanpa pengawasan yang memadai menunjukkan kontradiksi. Dalam teori kepentingan publik, kebijakan seharusnya dirancang agar tetap dalam kendali negara untuk memastikan bahwa dana publik digunakan sesuai dengan tujuan kesejahteraan rakyat. Namun, dalam kasus ini, dana publik diberikan tanpa mekanisme pengawasan yang seharusnya.
Beberapa pengamat kebijakan telah menyampaikan kekhawatiran mengenai transparansi dalam proses pembahasan UU superholding, yang dianggap berlangsung relatif cepat dan dengan keterlibatan publik yang terbatas. Minimnya partisipasi publik dalam proses ini dapat menimbulkan persepsi bahwa formulasi kebijakan lebih dipengaruhi oleh kelompok tertentu. Untuk meningkatkan kepercayaan publik dan memastikan bahwa kebijakan ini selaras dengan kepentingan masyarakat luas, diperlukan mekanisme konsultasi yang lebih inklusif dan transparan
Berdasarkan analisis di atas, teori kelompok kepentingan tampaknya dapat digunakan untuk menjelaskan aspek tertentu dari fenomena superholding BUMN, terutama dalam hal pengaruh aktor-aktor yang berkepentingan terhadap proses formulasi kebijakan. Namun, penting untuk mencermati apakah terdapat mekanisme yang memastikan kebijakan ini tetap sejalan dengan kepentingan publik. Transparansi dalam pembahasan dan penguatan akuntabilitas dapat menjadi faktor kunci dalam menghindari dominasi kepentingan kelompok tertentu. Suntikan APBN tanpa status keuangan negara memperlihatkan adanya celah yang bisa dimanfaatkan oleh kelompok tertentu, dan tidak adanya pengawasan intensuf dari BPK dan KPK semakin memperbesar potensi kepentingan kelompok tertentu dalam kebijakan ini. Agar kebijakan ini dapat benar-benar berorientasi pada kepentingan publik, proses legislasi perlu dirancang dengan tingkat transparansi dan akuntabilitas yang lebih tinggi. Keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil dan akademisi, menjadi faktor penting dalam memastikan manfaat yang lebih merata bagi masyarakat luas.
Mengidentifikasi Arah Superholding BUMN
Superholding BUMN melalui Danantara menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah kebijakan ini lebih mencerminkan Teori Kelompok Kepentingan atau justru merepresentasikan Teori Kepentingan Publik? Untuk menjawabnya, pembaca perlu mengidentifikasi beberapa indikator utama dalam implementasi kebijakan ini.
Jika superholding lebih banyak memberikan keuntungan kepada kelompok tertentu---seperti birokrat, eksekutif BUMN, atau pelaku bisnis dengan akses eksklusif---maka teori kelompok kepentingan lebih relevan. Hal ini bisa terlihat dari minimnya transparansi, keterbatasan partisipasi publik, serta mekanisme pengawasan yang lemah. Dalam skenario ini, kebijakan lebih condong menjadi alat bagi kelompok berpengaruh untuk mempertahankan kepentingannya. Sebaliknya, jika superholding benar-benar mampu meningkatkan efisiensi, memberikan manfaat ekonomi yang merata, dan memperbaiki layanan publik tanpa keberpihakan pada kelompok tertentu, maka kebijakan ini lebih sesuai dengan teori kepentingan publik. Indikatornya dapat dilihat dari sejauh mana kebijakan ini memberikan manfaat langsung bagi masyarakat luas, bagaimana mekanisme pengawasannya bekerja, serta apakah proses legislasi dan pelaksanaannya berlangsung transparan dan inklusif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI