Lihat ke Halaman Asli

Menumbuhkan Budaya Sadar Literasi

Diperbarui: 8 April 2016   11:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apa itu budaya literasi? Istilah ‘literasi’ dapat diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan tulis-menulis, keberaksaraan, atau melek aksara. Dalam konteks kekinian, literasi memiliki definisi dan makna yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar. Maka secara sederhana, budaya literasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan di mana setiap orang memiliki sikap cerdas, peka, jeli, pembelajar, berbudaya, mampu membaca lingkungannya dan mampu mengaktualisasikan dalam tulisan atau karya.

Dalam konteks ini, sebagai bangsa dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa, dengan jumlah lembaga pendidikan dan perguruan tinggi yang terus meningkat, apakah Indonesia telah memiliki tradisi literasi yang baik?  Tentu saja belum.

Hal ini sinergis dengan data yang dilansir  oleh Central Connecticut State University di New Britain, AS, menempatkan lima negara pada posisi terbaik yaitu Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia. Dan kita mungkin terkejut ketika mengetahui Indonesia pada posisi 60 dari 61 negara. Indonesia hanya setingkat lebih tinggi dari Botswana, sebuah negara di Afrika. (The Jakarta Post, 12 Maret 2016).

Hasil penelitian di atas menunjukkan betapa lemahnya budaya literasi dalam masyarakat Indonesia. Bangsa kita masih mengandalakan apa yang dilihat (visual) dan didengar (audio) dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS) di 2006 menunjukkan 85,9 persen masyarakat memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio (40,3 persen) dan membaca koran (23,5 persen). Kita belum terbiasa melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman dari membaca. Kita belum dapat mengaktualisasikan diri melalui tulisan. Membaca dan menulis belum menjadi budaya dan tradisi bangsa kita.

Masyarakat lebih familiar dengan media visual (memonton), verbal (lisan) atau mendengar dibandingkan membaca apalagi menulis. Kondisi di atas tidak hanya pada kalangan awam (masyarakat umum), di lingkungan pelajar  dan pendidikan tinggi pun masih jauh dari apa yang disebut budaya literasi yang baik. Kalangan generasi muda belum tertanam kecintaan membaca buku, selain sebatas membaca status atau keterpaksaan adanya tugas. Bahkan guru dan dosen, tidak sedikit dari mereka yang juga sama keadaanya.

Tidak sulit untuk mengidentifikasi secara lebih riil bahwa masyarakat kita belum memiliki tradisi literasi yang baik. Di Ponorogo misalnya sebagai sampel. Berjalanlah setiap hari ke setiap sudut kelurahan atau kampung, amatilah setiap rumah di saat waktu-waktu senggang atau saat pemberlakuan Jam Belajar Masyarakat ditetapkan. Maka, Anda akan mendapatkan Rumah-rumah yang tetap menghidupkan televisi Atau di siang hari ke perpustakaan daerah yang masih sepi pengunjung. Serta, warga yang cuek dengan seluruh aturan jam belajar atau bahkan tidak ada himbauan pemberlakukan Jam Belajar masyarakat.

Tentang hal ini, tidak perlu mencari siapa yang salah dan paling bertanggung jawab atau bahkan menyalahkan pemerintah. Karena sesungguhnya, budaya sadar literasi memang bukan kondisi yang bisa terwujud secara tiba-tiba dan instan. Dalam hal ini pemerintah sebenarnya sudah memulai dengan misalnya sejak akhir tahun 2015, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah meluncurkan program unggulan bernama Gerakan Literasi Bangsa (GLB) yang bertujuan untuk menumbuhkan budi pekerti remaja melalui budaya literasi (membaca dan menulis).Atau juga misalnya Kementerian Agama,  meluncurkan program bernama “Gerakan Maghrib Mengaji sejak 2013.

Ikhtiar pemerintah melahirkan kebijakan tersebut tentu adalah niat yang baik. Hanya saja, ketika sebuah kebijakan hanya sebagai formalitas dan program kerja saja, tentu tidak akan maksimal. Pemerintah seharusnya juga mengawal sekaligus mengevaluasi. Sehingga program dapat berjalan dengan maksimal dan sesuai dengan kondisi di lapangan. Salah satunya misalnya mendorong dan mengintervensi lembaga-lembaga pemerintah dan swasta, yang memiliki ruang tunggu untuk pro aktif menyediakan bahan bacaan, seperti kantor kelurahan, kecamatan, puskesmas, perbankan, koperasi, BMT, kafe, rumah makan, atau lembaga-lembaga sejenis lain, yang meniscayakan pengunjungnya untuk menunggu. Sehingga, ketika tempat-tempat tersebut difasilitasi ruang baca, maka waktu menunggu bisa dimanfaatkan untuk membaca.

Bagaimanapun aktifitas literasi merupakan salah satu aktifitas penting dalam hidup. Sebagian besar proses pendidikan bergantung pada kemampuan dan kesadaran literasi. Budaya literasi yang tertanam dalam diri generasi muda mempengaruhi tingkat keberhasilan baik di jenjang pendidikan maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga tidak berlebihan kiranya Dr. Roger Farr (1984) menyebut bahwa “Reading is the heart of education”. Bagi masyarakat muslim, pentingnya literasi ditekankan dalam wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW, yakni dalam ayat, Iqra’ (bacalah) yang dipertegas dengan ayat ‘allama bil qalam (mendidik melalui literasi).

Membangun Budaya Sadar Literasi

Dr. Ngainun Naim, dalam buku “Geliat Literasi (2015)”, dalam kata pengantarnya menulis, bahwa untuk menciptakan kemajuan peradaban suatu daerah salah satunya dengan menumbuhkembangkan tradisi literasi. Nah, dalam konteks ini generasi muda yang juga generasi pembelajar seharusnya dapat mengambil peran aktif menjadi motor penggerak untuk melajunya buadaya sadar literasi di lingkungannya masing-masing agar lebih massif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline