Dua figur publik dengan latar belakang dan gaya yang sangat berbeda, Kang Dedi Mulyadi (KDM) dan Rocky Gerung, mewarnai lanskap pemikiran dan politik Indonesia. Meskipun jarang berada dalam satu panggung, menelusuri filosofi hidup keduanya menawarkan perspektif menarik tentang bagaimana melihat dan menjalani kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Artikel ini akan mengupas inti filosofi hidup KDM dan Rocky Gerung, serta menyoroti persamaan dan perbedaan mendasar di antara keduanya.
Kang Dedi Mulyadi: Filosofi Merakyat yang Berakar Budaya
Filosofi hidup Kang Dedi Mulyadi terjalin erat dengan pengalamannya sebagai seorang pemimpin yang dekat dengan rakyat. Inti dari pandangannya adalah mengutamakan kebersamaan dan kepedulian sosial. Ia dikenal dengan gaya kepemimpinan "turun gunung", berinteraksi langsung dengan masyarakat, mendengarkan keluh kesah, dan berupaya mencari solusi bersama.
Sebagai putra Sunda, nilai-nilai tradisi dan budaya juga menjadi fondasi penting dalam filosofinya. Ajaran-ajaran kearifan lokal, seperti gotong royong dan harmoni dengan alam, tercermin dalam pandangan hidupnya. Peribahasa Sunda "Ra ketan ra keton" seolah menjadi representasi filosofinya tentang pentingnya kerja keras dan pemanfaatan sumber daya untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Lebih dari sekadar kekuasaan, KDM menekankan kepemimpinan yang melayani (Leber Wawanen). Baginya, seorang pemimpin harus memiliki keberanian dan tanggung jawab untuk mengabdikan diri pada kepentingan masyarakat. Kritiknya terhadap pendidikan yang elitis juga mencerminkan filosofi yang mengedepankan esensi dan nilai pendidikan di atas formalitas dan kemewahan.
Rocky Gerung: Menggugat dengan Akal Sehat dan Kebebasan Berpikir
Berbeda jalur, filosofi hidup Rocky Gerung berakar pada tradisi filsafat yang kritis dan skeptis. Sebagai seorang intelektual publik, ia menjadikan kebebasan berpikir dan berekspresi sebagai pilar utama. Baginya, mempertanyakan asumsi dan mencari kebenaran melalui logika adalah kunci kemajuan.
Rocky Gerung dikenal dengan kemampuannya dalam analisis konseptual yang mendalam. Ia gemar mengupas makna dari konsep-konsep seperti demokrasi, keadilan, dan kebebasan, mengajak audiensnya untuk memahami esensi di balik retorika politik. Seruannya untuk mengaktifkan akal sehat menjadi ciri khas, menekankan pentingnya rasionalitas dalam menghadapi kompleksitas persoalan.
Filosofinya juga ditandai dengan kritik yang tajam terhadap kekuasaan yang dianggap menyimpang dan terhadap apa yang ia sebut sebagai "kedunguan" atau ketidakmampuan berpikir kritis. Baginya, intelektual memiliki tanggung jawab untuk menjadi garda terdepan dalam menjaga akal sehat publik.
Titik Temu yang Tersembunyi