Lihat ke Halaman Asli

Bung Amas

Kolektor

Relasi Negara, Bisnis dan Mafia

Diperbarui: 22 Januari 2021   10:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Deskripsi Negara dikuasai para Mafia (Foto kopikiri.wordpress.com)

RELATIF banyak diantara kita yang enggan bicara. Terkesan takut mengajukan kritik soal pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Fenomena yang dicurigai sebagai lahan bisnis rapid test, sweb, sampai vaksin. Dalam konteks berwacana, bangunan pemikiran yang rasional, radikal sangat diperlukan. Itu sebabnya, soal Covid-19 ini memerlukan kritik tajam dan juga mendalam.

Sekarang kita bedah, bermula dari penyakit Covid-19 yang berdasarkan informasi resmi dilansir media massa bahwa induk penyebaran Covid-19 adalah dari Wuhan Negara China. Sebagai tempat penyebar petaka penyakit terkutuk ini, ya Wuhan. Kemudian, muncul vaksin yang belakangan menjadi pro-kontra. Jaringan global dibuka. Vaksin dari China pun menjadi 'rebutan', laku di pasaran. Mudah sebetulnya dideteksi, bahwa ini pure bisnis kesehatan, saya menduganya begitu.

Pemerintah Indonesia tak boleh marah atas kemerdekaan berfikir yang disampaikan. Ini soal kejujuran, ketulusan bicara, semua rakyat berhak meragukan dan curiga terhadap Covid-19. Jika pemerintah marah, lalu menjerat rakyatnya dengan aturan, itu berarti pemerintah mandul pikirannya. Mengintimidasi rakyat sendiri, tak seharusnya begitu.

Kenapa kemudian penularan Covid-19 yang semula lonjakan angka positifnya terus naik di tiap daerah kini mulai stagnan, tidak ramai lagi. Malah yang terungkap dan diributkan adalah vaksin. Menolak vs menerima divaksin. Rakyat seperti dibelah dalam dua kubu. Polarisasi dan dikotomi dibuat, yang menolak divaksin dituduh emosional atau irasional.

Sangat dangkal dan miris kesimpulan tersebut. Kemudian, mereka yang menerima divaksin disematkan 'gelar' sebagai orang-orang rasional. Seolah-olah yang menerima divaksin itu manusia-manusia tercerahkan. Lalu mendiskreditkan sebagian rakyat yang belum mau divaksin. Sungguh cara pandang yang timpang, kurang adil, bahkan sedikit picik.

Tidak bolehlah pemerintah turun merendam dirinya dalam praktek polarisasi dan diskriminasi terhadap rakyatnya. Tidak etis rasanya. Tugas pemerintah ialah mengayomi, berlaku adil, melayani. Sebagai jembatan, akomodatif, bukan pemberi hakim yang jahat. 

Pemerintah wajib berperilaku bijak. Dalam soal vaksin, rakyat  berharap pemerintah tidak ikut memperkeruh suasana. Melainkan, tampil bijaksana. Menyodorkan solusi, tidak mendorong lahirnya kerisauan publik.

Jangan pemerintah membuat sekat. Menginstimewakan rakyat lain, kemudian menjahati rakyat lainnya. Kembali ke soal Covid-19, jika suasana penyakit ini 'mengakar', tahan lama, lambat sembuhnya. Otomatis rakyat dalam ketakutan, maka pemerintah masih gagal. Ya, gagal melawan Covid-19, mencarikan solusi atas bahaya mewabahnya bencana non-alam ini.

Publik masih ingat penyampaian Presiden Jokowi yang menyebut bahwa rakyat harus bisa 'hidup berdampingan' dengan Covid-19. Takut berkonfrontasi dengan Covid-19, rumusnya yakni berkompromi dengan Covid-19. Diksi new normal pun akrab ditelinga rakyat. Makin berdesak-desakanlah ruang publik kita. Edukasi dan produksi tema-tema kesehatan, terlebih yang berkaitan dengan Covid-19 terus disuplay.

Rakyat akhirnya tau. Mereka membaca atau mendengar Covid-19, seperti sesuatu yang angker. Walau akhir-akhir ini sudah mulai berkurang rakyat yang memakai masker. Sebagian mulai mengungkap tabir, bahwa Covid-19 adalah 'penyakit malam hari saja'. 

Dimana saat siang hari rakyat diperbolehkan beraktivitas bebas, bagi pengusaha restoran, rumah kopi, rumah makan, dan sebagainya boleh berjualan di siang hari. Di beberapa Kota/Kabupaten, aktivitas para pengusaha ini dibatasi saat pukul 20.00. Setelahnya pemerintah daerah melarang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline