Lihat ke Halaman Asli

Suka-duka Menjadi Konselor TKI di Madinah

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menyayangi semua TKI.  Alasan sayang  bukan hanya karena mereka merupakan subjek dari pekerjaan saya dan suami, namun juga faktor satu bangsa di perantauan.  Gara-gara membela TKI saya sering dihadapkan pada keributan dan bantah-bantahan dengan para Madam Saudi.  Sikap saya berdasarkan prinsip, Bela TKI, walau salah pasti saya bela dulu, belakangan saya akan pecahkan masalahnya dan bantu cari solusinya.  Menemukan TKI yang melacurkan diri misalnya, saya tidak akan jijik dan tidak akan menghindarinya, karena saya selalu berpikir ketika saya menjauhi mereka dan tidak membantu mereka, maka mereka akan terjebak dalam lumpur masalah yang lebih dalam.  Jadi, saya berusaha selalu menyayangi para TKI. Menempatkan diri sejajar dan empati pada permasalahan mereka.

Sikap saya tersebut membuat saya dipercayai dan berkenan di hati para TKI, bahkan ketika mereka sudah pulang ke tanah air atau pindah bekerja ke negara lain. Banyak dari mereka masih menghubungi saya.

Menurut Wikipedia, Konselingataupenyuluhanadalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli (disebutkonselor/pembimbing) kepada individu yang mengalami sesuatu masalah (disebut konsele) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien. Istilah ini pertama kali digunakan oleh Frank Parsons pada tahun1908saat ia melakukan konselingkarier. Selanjutnya juga diadopsi olehCarl Rogersyang kemudian mengembangkan pendekatanterapiyang berpusat pada klien (client centered).

Selama lebih dari 10 tahun saya mendampingi para TKI bermasalah di Madinah, saya tak pernah berpikir bahwa tugas saya tersebut bisa dikategorikan konseling sampai saat saya berkenalan dengan Kompasianer Bapak Julianto Simanjuntak akhir tahun 2011.

Selama itu lebih banyak duka saya rasakan dibanding rasa suka atau bahagia.  Mendampingi para TKI sering menguras emosi saya, karena saya pribadi yang sangat sensitif.  Kesusahan mereka menjadi kesusahan saya.Sering terjadi saya bersimbah air mata dan tak bisa makan atau tidur dengan nyenyak ketika saya mencoba mendampingi seorang TKI menyelesaikan masalahnya.  Sifat bantuan saya bukan saya yang memutuskan jalan untuk sang TKI, karena keputusan ada di tangan TKI sendiri.  Saya hanya menampung, memberikan pandangan dan mencoba mengarahkan saja. Kecuali sifat masalah yang sangat sensitif seperti perlakuan asusila, biasanya saya dan suami memang langsung bertindak mencari penyelesaian, bahkan kalau perlu sampai ke ranah hukum yang berlaku di Saudi.

Bekerja di bidang supplier tenaga kerja bukanlah pekerjaan yang mudah apalagi latar belakang pendidikan saya bukan di bidang ini. Menangani orang-orang dan bukan benda mati bukan pekerjaan ringan melainkan sangat kompleks. Kami ikut bertanggungjawab atas keselamatan dan kesuksesan mereka selama bekerja di perantauan.

Namun demikian saya tetap menghargai bila di Kompasiana ini masih ada orang yang menghina dan menyepelekan kedudukan saya dalam per- TKI-an di Saudi.  Bagaimanapun lain kepala lain cara memandang, dan lain hati lain lubuk pula dalam menghargai orang lain.

Sekarang boleh dikatakan karir saya sebagai konselor TKI hampir berakhir dengan total, setelah ditutupnya saluran penempatan tenaga kerja Indonesia oleh Kerajaan Saudi.  Saya mungkin hanya diperlukan untuk  mendampingi sisa-sisa TKI yang masih bertahan bekerja sampai mereka akhirnya menemukan jalan untuk pulangnya bila sudah merasa cukup.

Semoga makin kenal makin sayang.

Bunda Khadijah, Madinah 31/12/2012




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline