Lihat ke Halaman Asli

1 Perhelatan, 2 Manusia, 1 Hal: Kesombongan

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat itu Ramadhan masih menaungi hari Jumat yang kutunggu-tunggu itu. Sengaja aku lewatkan satu mata kuliah untuk acara pengumuman lomba cerpen Islami pada sebuah gedung baru di UNY. ketika itu aku datang terlambat. sengaja tepatnya. Namun, ternyata acara itu belum dimulai sama sekali! hebat nian! Rencana pukul dua itu berubah menjadi setelah Salat Ashar! naasnya, aku yang masuk ruangan, salah duduk di barisan akhwat pula, baru terduduk beberapa detik, sudah mendengar ‘Kita mulai setelah Ashar, peserta dipersilahkan salat terlebih dahulu’. Senyum terkembang menatap orang yang diam-diam menatap.

Kembali berkumpul, nama disebut, dan berdegub kencang. tak sampai sepuluh besar!! Ada yang salah saat aku mendengar sinopsis itu. bahasa yang tak dalam, cerita ala sinetron (walau agak rumit), kenapa bisa masuk tiga besar? namun, saat aku mendengar seseorang bernama Eko yang ekspresif itu membacakan cerpen tentang lantai masjid itu, ya, aku, kami memang kalah. tak apalah, yang penting sertifikat di tangan.

Matanya yang tajam, tiba-tiba melotot, suaranya berubah-ubah seperti kesetanan, tangan mengepal dalam-dalam, seakan lelaki itu benar ada di dalam cerita yang ia ciptakan. bombastis…

Aku tersenyum, tak konsen antara kagum dan mencoba memahami. jaku ini naik turun, takut kalau-kalau mata yang mengerikan namun penuh makna seni itu menatapku. Dan belum ia tuntaskan, ia dipersilahkan menghentikan pembacaan. ia akhiri dengan pesan-pesan mulia, khas kedewasaan ala seniman dan guru jadi satu. ya, aku belajar dari itu.

Tetapi, bukan itu yang mengganggu pikiran ini. Adalah kemudian, saat pembicara yang mewakilik pembicara sebenarnya yang berhalangan hadir. lelaki dewasa yang sepertinya asdos itu dengan enaknya mengejek fakultas saya, FBS, yang justru mengadakan acara anak-anak TPA di bulan Ramadhan itu, daripada mengadakan lomba sastra macam yang dilakukan Fakultas MIPA ini. Tersenyum saya melihat betapa sok hebatnya manusia ini. Seandainya saat itu saya mempunyai pikiran ‘lalu, untuk apa FMIPA mengadakan acara sastra macam ini, yang tak berhubungan dengan bidang mreka? Lebih baik mereka mengurusi rumus-rumus dan penemuan ilmiah mereka!’. Sekarang, bagi Anda yang membaca tulisan ini, siapa yang tolol? Orang itu tak lebih manusia yang termakan katanya sendiri. Sayang, pemikiran ini hanya datang belakangan.

’saya ingin marah di depan Ayu Utami….bla ,bla, bla’

‘kata dalam puisi itu pernah dimuat dan diperdebatkan banyak sastrawan…’ lanjutnya dalam nada optimis dan raut wajah meyakinkan ala aktivis.

malas saya menjabarkan keburukan orang itu. seperti saya, Anda berhak mengadili tingkat kesombongannya.

Tapi, cerita tak sampai di sini! Ketika pembawa acara menyebutkan kriteria penilaian, ia menyebutkan ‘pemilihan diksi’. Saya tahu itu salah, itu bukan bidanganya. Tapi, seseorang di belakang saya berkata ‘diksi dkok dipilih..’ dengan tawa yang jelas mengejek. Saya tahu orang bernama Eko itu duduk tepat di belakang saya. Tapi jelas juga itu bukan suaranya. mendengar kata tadi, saya merasa bahwa mungkin ia adalah mahasiswa jurusan B.Indonesia. benar saja! pikiran saya berlalu pada masa ospek, dan wajah itu sempat muncul kembali. Pantas saja level ia dan kami yang kalah, jauh berbeda. Ternyata keduanya adalah teman dekat. Pemenang dan orang sombong satu itu. Orang itu dapat berkata sedemikian sombong, karena itu adalah bidang yang ia tahu benar. ia berada di ruang lingkup yang sangat ia kenal. namun ia tidak melihat siapa yang mengatakan kesalahan tersebut.

Cukuplah tiga kata yang membuat saya terganggu untuk kedua kalinya akan sifat sombong, hingga saya menuliskannya. itulah sebuah bibir dan kleganya: kata. berhati-hatilah. dan jangan berkata sebelum Anda melihat keadaan itu melalui sudut pandang yang berbeda. atau sebelum Anda membayangkan anda berada di posisi orang yang anda anggap salah itu. kesalahan: manusiawi. tak ada orang yang mau salah, bukan? hanya masalah waktu mereka untuk belajar, tidak melakukan kesalahan yang sama.

* * *

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline