Lihat ke Halaman Asli

Beryl Lumenta

Belajar menulis

Mencermati Ide "Gila" Ustaz Yusuf Mansur

Diperbarui: 10 Mei 2016   13:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebenarnya pernyataan beliau mengenai ide gilanya mengatasi kemacetan Jakarta sudah cukup lama beliau lontarkan, yaitu tanggal 21 April 2016 (baca beritanya di sini). Namun saya rasa masih cukup relevan untuk dibahas.

Beliau mengatakan, saya kutip: "Maka kita bisa meminta anak SD, SMP, dan SMA untuk enggak usah pulang sekalian dari sekolahnya" Selanjutnya beliau mengatakan bahwa semua sekolah di jakarta dapat dijadikan boarding school atau sekolah berasrama. Saya tidak hendak membahas apakah ide beliau tersebut efektif untuk mengatasi macet Jakarta atau tidak. Silahkan teman-teman kompasianer lain saja yang membahasnya.

Kepedulian saya sebagai seorang guru adalah mengenai konsep Sekolah Berasrama yang Diwajibkan. Kalau beliau menyatakan semuaberarti, tidak ada pilihan lain, alias wajib. Kalau tidak ingin sekolah di sekolah berasrama, jangan bersekolah di Jakarta, karena semua sekolah di Jakarta berasrama.  Ini berarti siswa dan orang tua tidak diberikan pilihan.

Kalau saya diberi pilihan apakah hendak menyekolahkan anak saya di sekolah berasrama atau tidak, saya memilih tidak. Saya tidak hendak mengatakan bahwa sekolah berasrama itu tidak baik, atau tidak sebaik sekolah konvensional yang tidak berasrama. Saya hanya bilang, saya lebih memilih sekolah konvensiopnal yang tidak berasrama. Tentu saja pilihan saya ini bukannya tanpa alasan. Berikut ini adalah pandangan saya.

Tidak kurang dari Pak Mendikbud Anies Baswedan setuju bahwa orang tua adalah pendidik terpenting dalam pendidikan anak. Dalam pandangan agama yang saya anut (Kristen) Pendidikan anak adalah tanggung jawab orang tua dan keluarga (Ulangan 6 : 6-9). Guru dan Sekolah tidak pernah dimaksudkan untuk menggantikan peran orang tua dan keluarga. Namun fenomena yang terjadi saat ini, guru dan sekolah mulai menggesar peran orang tua dan keluarga. Dan yang paling memprihatinkan menurut saya, justru pergeseran peran ini diinisiasi oleh orang tua, bukan oleh guru dan sekolah. Orang tua jaman sekarang sudah terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing, sehingga cenderung menyerahkan pendidikan anak-anaknya ke tangan guru dan sekolah.

Pendidikan sendiri secara harfiah menurut KBBI adalah  proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Dalam bahasa Jawa, berasal dari kata Panggulawentah berati mengolah , membina kejiwaan dengan mematangkan perasaan, kemauan dan watak sang anak. Dalam bahasa latin berasal dari kata educare yang berarti mengeluarkan dan menuntun.  Secara garis besar, dapat kita artikan pendidikan sebagai proses mengubah atau mentransformasi anak. Ada 3 aspek dalam pendidikan, yaitu aspek kognitif (pengetahuan) afektif (sikap) dan psikomotorik (ketrampilan) jadi transformasi dalam pendidikan meliputi ketiga aspek tersebut.

Cara yang paling efektif untuk mempengaruhi anak untuk mendatangkan perubahan dalam dirinya, menurut saya, adalah dengan bergaul akrab dengannya. Seringkali waktu yang paling efektif untuk menanamkan nilai moral pada anak saya adalah ketika kami sedang bermain. Selain itu, lebih mudah mendidik anak dengan memberikan teladan baginya dalam kehidupan kita sehari-hari. 

Saya jarang mengatakan kepada anak saya bagaimana dia harus memperlakukan orang yang lebih tua, misalnya, namun saya memberikan teladan kepadanya melalui cara saya memperlakukan orang yang lebih tua, termasuk pengasuh anak saya, yang secara usia masih lebih tua dari saya. Intinya,  proses pendidikan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya, terjadi karena ada interaksi yang intens antara orang tua dan anak. Sekolah berasrama mengurangi (kalau tidak bisa disebut mengkebiri) intensitas interaksi Orang Tua-Anak.

Karena alasan tertentu, ada orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah berasrama, saya tidak hendak menghakimi mereka dengan mengatakan bahwa mereka sengaja melepas tanggung jawabnya sebagai orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Namun memaksa orang tua dan anak untuk berpisah, dengan menyekolahkan anak-anaknya bahkan sejak usia Sekolah Dasar, di sekolah-sekolah berasrama, menurut saya sudah melanggar hak orang tua dan anak.

Dari sudut pandang anak, mereka berhak mendapatkan pendampingan dari orang tua mereka. Mereka berhak berinteraksi dengan orang tua mereka. Mereka berhak merasakan kasih sayang orang tua mereka. Apakah orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah berasrama berarti tidak mengasihi anak-anaknya? Tentu saja tidak. Kasih sayang dapat diekspresikan dengan berbagai cara. Namun, cara yang paling dimengerti anak-anak adalah melalui kehadiran orang tua mereka disamping mereka, melalui sentuhan, belaian dan pelukan orang tua mereka (terutama untuk anak-anak yang lebih kecil) 

Dari sudut pandang orang tua, selain kami, para orang tua, berhak mendidik anak-anak kami sendiri, kami juga berhak menikmati kebersamaan kami dengan anak-anak kami. Saya tidak bisa membayangkan harus terpisah dari anak saya sejak usia sekolah dasar. Praktis saya hanya punya waktu 6 tahun untuk menikmati kebersamaan dengan anak saya, karena sejak SD sudah harus bersekolah di sekolah berasrama, selepas sekolah, mereka berkuliah di luar kota, kemudian bekerja dan menikah. Sungguh kejam sekali orang yang memisahkan anak dari orang tuanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline