Lihat ke Halaman Asli

BERTA AZIZAH

Bismillah..

Tradisi Tiban di Tulungagung

Diperbarui: 1 Desember 2021   17:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Salah satu tradisi warisan leluhur yang ada di Tulungagung adalah tradisi tiban. Tulisan ini mengangkat tema Tradisi Tiban dengan tujuan untuk mengenalkan Tradisi Tiban ke masyarakat luas, tidak hanya di daerah Tulungagung dan sekitarnya saja namun juga untuk mengenalkan Tradisi Tiban ke tingkat nasional bahkan sampai ke dunia internasional. Serta diharapkan para generasi muda untuk lebih mengenal, mencintai, dan melestarikan salah satu warisan budaya leluhur ini yaitu Tardisi Tiban.

 Tradisi tiban berasal dari Desa Wajak, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung. Desa Wajak sendiri terdiri dari dua wilayah, yaitu Desa Wajak Lor dan Desa Wajak Kidul. Dahulu kala, desa ini adalah satu kesatuan. Namun akhirnya dipecah menjadi dua desa yaitu Desa Wajak Lor (di dalam Bahasa Indonesia berarti Desa Wajak Utara) dan Desa Wajak Kidul (di dalam Bahasa Indonesia berarti Desa Wajak Selatan). 

Salah satu tradisi seni leluhur yang dijaga dan dilestarikan sampai sekarang di Tulungagung yaitu tradisi Tiban. Tiban berasal dari kata “tiba” dalam Bahasa Jawa yang artinya jatuh. Tradisi Tiban atau ada juga yang menyebutnya sebagai tari Tiban. Tujuan diadakannya Tiban adalah untuk meminta hujan kepada Sang Pencipta, menyimpan makna tersirat sebagai upaya untuk melestarikan alam karena hujan hewan, dan tumbuhan.

 Salah satu sesepuh atau tokoh Tradisi Tiban yaitu Bapak Muhadi Kasbun Irokarso. Beliau tinggal di Desa Wajak Lor. Menurut penuturan beliau, Tradisi Tiban ada sejak tahun 1944. Bermula dari adanya perang antara Desa Wajak dengan kerajaan Mataram. 

Di kala itu, tokoh Desa Wajak yang bernama Tumenggung Surontani mengadakan perlawanan kepada Panembahan Senopati dari Kerajaan Mataram. 

Sebelum mengadakan perlawanan tersebut, Tumenggung Surontani memilih orang-orang tangguh dan sakti untuk dijadikan pasukan dalam medan pertempuran yaitu dengan cara mengadu kekuatan menggunakan cambuk. 

Cambuk yang digunakan terbuat dari lidi pohon aren yang dipilin (“suh”) menjadi satu, yang diberi nama ujung. Cambuk ini memiliki makna tersendiri yaitu “suh” yang artinya bersatu dan “ujung” yang artinya tombak untuk mengadakan perang atau perlawanan kepada Kerajaan Mataram. Semua orang berlomba-lomba untuk menjadi yang terpilih dan paling kuat agar bisa mendampingi Tumenggung Surontani di medan tempur. 

Adu kekuatan tersebut ternyata tidak hanya dimaksudkan untuk memilih orang-orang terkuat dan sakti saja. Namun didalam adu kekuatan tersebut juga digunakan Tumenggung Surontani sebagai sarana untuk mengumpulkan warga dan mengajak berdoa bersama, memohon kepada Sang Pencipta untuk diturunkannya hujan. Karena saat itu adalah musim kemarau yang panjang, yang menyebabkan kekeringan dimana-mana dan hasil panen yang menurun drastis.

Sebagai pengikat kerukunan warga Desa Wajak, Tumenggung Surontani meminta untuk disediakan salah satu jajanan tradisional yang khas yaitu jenang sewu atau lebih dikenal dengan sebutan dawet. Yang sampai sekarang akhirnya menjadi jajanan khas saat diadakannya Tradisi Tiban tersebut.  Warga dengan rukun menikmati hidangan dawet tersebut bersama-sama.

 Pelaksanaan Tiban terdiri dari dua orang yang saling mencambuk menggunakan ujung. Aturan permainannya adalah setiap orang mendapatkan giliran tiga kali mencambuk kepada lawan secara bergantian. 

Setelah tiga kali cambukan maka akan digantikan oleh pemain yang lain, begitu seterusnya sampai seluruh peserta habis. Luka bekas cambukan akan segera diobati oleh tokoh atau sesepuh sehingga tidak memakan waktu lama, luka tersebut akan pulih kembali (Budiman, 2013). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline