Lihat ke Halaman Asli

Benito Rio AviantoMr.

Dosen MK Statistika, Ekonomi indonesia, Metodologi Penelitian, & Metode Penelitian Kuantitatif, dan Sesundaan

Data Center sebagai Pilar Kedaulatan Digital di Era Ekonomi Digital

Diperbarui: 14 Mei 2025   13:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Data Center sebagai Pilar Kedaulatan Digital di Era Ekonomi Digital

Oleh: Benito Rio Avianto, SST, M.Ec.Dev.

Analisis Kebijakan Ahli Madya Bidang Telekomunikasi, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI

Alumni Politeknik Statistika-STIS (Polstat-STIS) dan Magister Ekonomika Pembangunan, Universitas Gadjah Mada (MEP-UGM)

#DataCenterGlobal #DigitalSovereignty #CloudComputing #GreenEnergy #ASEANDigital

Dalam era transformasi digital yang dipercepat oleh AI, cloud computing, dan IoT, data center telah menjadi infrastruktur kritis yang mendukung pertumbuhan ekonomi digital global. Laporan JPMorgan (2024) menyoroti lonjakan investasi data center di Asia Tenggara, sementara McKinsey (2023) memproyeksikan kapasitas global data center akan tumbuh 15-20% per tahun hingga 2030.

Namun, pertumbuhan ini tidak merata. AS dan China masih mendominasi, sementara negara berkembang seperti Indonesia dan Malaysia baru mulai mengejar ketertinggalan. Bagaimana peta persaingan data center global? Apa tantangan utama, dan bagaimana negara-negara dapat memperkuat kedaulatan digital melalui infrastruktur data center?

Pertumbuhan Data Center Global: AS & China Memimpin, Asia Tenggara Mengejar  Dominasi AS & China (70% Kapasitas Global) dengan rincian AS: Memiliki 2.600+ data center (33% kapasitas global), dipimpin oleh Amazon Web Services (AWS), Microsoft Azure, dan Google Cloud. Sedangkan China: Kapasitas tumbuh 20% per tahun didorong oleh Alibaba Cloud, Tencent, dan Huawei, dan Eropa: Fokus pada green data center dengan regulasi ketat emisi karbon.

Disisi lain, Asia Tenggara: Kawasan dengan Pertumbuhan Tercepat (25% CAGR)

Sebagai catatan kondisi pembangunan Data Center, di Singapura sudah jenuh, kini fokus pada AI & high-performance computing, sementara di Malaysia dan Indonesia menjadi alternatif karena biaya listrik lebih murah dan tersedianya sumber air sebagai pendukung operasional berdirinya data center.

Namun, keberadaan data center di Asia Tenggara memiliki tantangan utama yakni ketersediaan Energi, Regulasi yang mendukung, dan tingkat keamanan siber.  Kebutuhan Energi dan Keberlanjutan, dimana Data center menyumbang 1-2% konsumsi listrik global (setara dengan negara Spanyol). Sumber energi Indonesia dan Malaysia masih bergantung pada batubara, sementara Singapura/Eropa telah beralih ke renewable energy. Sebagai solusi, dibangun Modular data center, pendingin hemat energi, dan hybrid cloud.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline