Lihat ke Halaman Asli

Dr.Dr.Basrowi.M.Pd.M.E.sy.

Pengamat Kebijakan Publik, Alumni S3 Unair, Alumni S3 UPI YAI Jakarta, PPs Ekonomi Syariah UIN Raden Intan Lampung

Kapitalis, Birokrat, dan Penderitaan Raykat

Diperbarui: 4 Mei 2020   21:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Inovasi para kapitalis yang telah menghantarkan perkembangan dunia industri mencapai perkembangan 4.0, seolah mengalami antiklimaks dengan adanya covid-19. Aras perputaran ekonomi seolah telah diasuh oleh keheningan. Kelokan demi kelokan yang pada mulanya sebagai seni perubahan, kini telah berubah. Kelokan yang terjadi bukan hanya tern left atau tern right, tetapi telah diubah haluannya menjadi u-tern (putar balik) pada kondisi satu hingga dua dekade.

Letupan dan kejutan perubahan ekonomi yang dipandu oleh para birokrat yang canggih dalam memanfaatkan IT, seolah oleh dibungkam erat oleh Corona. Denyut kehidupan hanya terdengar lirih, pelan, dan seolah tak bernyawa lagi. Deru mesin hasrat mengeruk lapisan, kulit hingga isi bumi yang kemarin riuh redam dibiarkan liar, kini semuanya dipaksa berhenti. 

Nilai-nilai kapitalisme telah terdevaluasi oleh corona menjadi nilai-nilai kemanusiaan, nilai gotong royong, dan nilai tolong menolong. Hari ni semua orang harus memenjarakan diri dalam suasana menahan emosi, karena seluruh hari minim konsumsi, sementara pendapatan tiada arti. Anak-istri telah berprihatin diri, memandangi Televisi yang semakin ngeri, karena ekonomi sedang terpatri oleh suasana pandemi. 

Sepinya hari telah membuka hati, sesungguhnya yang hakiki adalah jiwa suci, yang di dalamnya tumbuh bersemi akan kesyukuran hati atas semua yang dimiliki, tanpa harus iri dengan hingar bingar duniawi.

Pembajakan logika, agar semua orang bekerja, dalam suasana penuh harapan, ternyata tidak menghasilkan apa-apa, ketika ditempa oleh Corona yang membabi-buta, tak mengenal di miskin dan si kaya, semuanya berpeluang terkena imbasnya, hingga semua lupa akan tertawa, yang ada hanya duka, nistapa, dan sengsara.

Upaya menormalkan kurva normal yang sudah tidak lagi normal, sudah sangat sulit untuk diupayakan. Meskipun dipandu dengan trilyunan harta para imperial, akan tetapi yang terjadi hanya hingar-bingar, dan terasa kurang bernilai esensial kecuali ekspresi ritual, karena rakyat tidak mau mematuhi berbagai signal.

Kapitalis yang Materialis 

Empuknya tahta yang diduduki para kapitalis dalam bilik-bilik hasrat egoisitasnya, karena adanya gravitasi kekayaan yang selalu menukik kepada mereka yang bertahta. Di saat resesi seperti ini, mereka belum terasa, karena masih bisa menghindar jauh dari ancaman pandemi. Seolah mereka masih hanyut dalam akumulasi nafas kebahagiaan, sebaliknya si miskin telah didera oleh rentetan dan deretan keprihatinan.

Niat kenegaraan para kapitalis perlu dikalibrasi ulang, karena telah terjadi kehampaan akan nilai refleksi dan seolah kehilangan daya pikatnya, manakala mereka melakukan riswah. Saat inilah perlunya melakukan kontemplasi diri, dalam rangka meluruhkan dan membersihkan kekusutan hati dan jiwa agar semuanya lepas dari embel-embel citra

Measurement subjektif yang selama ini membuncah telah dilakukan oleh para kapitalis ternyata terasa mandul dan kering, karena telah membajak logika dan memampatkan pola nalar akan keadilan.  Saatnya para kapitalis membuka jerat kemiskinan, dengan meneguhkan solidaritas dengan cara memberikan nutrisi hati dan jiwa untuk rakyat yang sengsara dampak Corona.

Saatnya para kapitalis memendarkan emosi yang selama ini menggelegak tanpa bosa basi untuk berhenti mengejar duniawi. Saatnya para kapitalis untuk segera menegaskan dan meneguhkan solidaritas sebagai momen kontemplatif dan korektif atas tindakan diri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline