Lihat ke Halaman Asli

Bambang Trim

TERVERIFIKASI

Pendiri Penulis Pro Indonesia

Para Penulis Tidak Berbeda dengan Seorang Pejalan Kaki

Diperbarui: 31 Desember 2016   15:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Pixabay

Saya mendengar istilah 'pedestrian' kala kali pertama kuliah di Fakultas Sastra Unpad. Teman-teman di Jurusan Sejarah menyebut diri mereka 'pedestrian'. Ternyata maknanya adalah 'pejalan kaki'. Entah mengapa akhir-akhir ini reporter atau presenter TV menyamakan 'pedestrian' dengan 'trotoar', mungkin mereka kira lebih keren menyebut 'pedestrian' daripada 'trotoar' meski artinya berbeda--yang satu subjek dan satunya lagi objek.

Sekira dua belas tahun lewat saya pernah menulis artikel di harian Suara Publik Bandung yang saat itu masih terbit tentang kritik terhadap penggusuran hak-hak pedestrian oleh pemotor dan pedagang kaki lima di Bandung. Trotoar telah beralih fungsi menjadi tempat berjualan dan tempat memintas dari kemacetan. 

Namun, era kini Bandung tengah berbenah, tepatnya dibenahi RK alias Kang Emil dengan membangun trotoar-trotoar sangat luas di pusat kota Bandung. Menurut istilahnya, Bandung harus walkable sebagai kota yang manusiawi untuk para pedestrian seperti yang juga ada di Singapura atau kota-kota di Eropa. 

Benarlah pembangunan trotoar itu mulai "menyusahkan" pengendara mobil dan motor, contohnya di jalan terusan Otista hingga ke Sudirman Bandung, tetapi menyenangkan pedestrian. Lahan parkir di pinggir jalan menjadi lebih sempit.

Sebagai warga Cimahi yang berbatasan dengan Bandung, tentulah bagi saya menggembirakan berjalan-jalan di Bandung karena berjalan kaki adalah cara penulis mengaktifkan seluruh potensi pancainderanya: melihat, mendengar, mencium, mencecap, dan merasakan dengan sentuhan apa yang terlihat. 

Suasana inilah yang dulu sangat saya rindukan, terutama tersedianya kursi-kursi dan taman-taman. Bandung telah berubah sedikit demi sedikit menjadi kota itu meskipun kemacetan tetap tidak terhindarkan. Kelak ketika transportasi publik tersedia lengkap, menikmati Bandung lebih afdol dengan naik turun angkutan umum dan berjalan kaki.

Memang tak urung ada juga yang mengkritik kerja Kang Emil ini soal pembangunan trotoar yang menurut si pengkritik bukan prioritas. Kang Emil balik mengkritik bahwa mereka yang menyatakan pembangunan trotoar itu "pemborosan" adalah yang mengkritik dari balik jendela mobil dan (kaca helm) motor--tidak berbasis data dan fakta. 

Nah, itulah penulis kalau tidak pernah menjadi pedestrian, yang digunakan hanya visual dari kacamatanya karena ia sudah merasa menggunakan kamera 360 derajat. Namun, lucunya berdasarkan deteksi Kang Emil, si pengkritik justru pernah bersama keluarganya menikmati trotoar dan duduk-duduk di bangku trotoar yang dikritiknya.

Memang tahun 2016 ini tahun penuh kritik, debat kusir hingga kuda. Si kusir pakai pelecut dan si kuda pakai kacamata, kadang-kadang memang tidak nyambung. 

Semua terjadi karena orang-orang yang senang berdebat tulisan tanpa ujung itu memang kurang piknik alias kurang berjalan-jalan sebagai pedestrian atau kalaupun mereka berjalan-jalan, banyak di treadmill, selebihnya naik mobil dan naik motor menyerobot hak para pedestrian. Tapi, tunggu dulu .... Bukankah berdebat tulisan itu ciri intelektual. Mungkin seorang anak dari Gen Y akan berkata lantang: "Intelektual ndasmu!"

Ya itulah dunia kini bahwa segala argumentasi dapat menjadi kontraproduktif ketika berhadapan dengan gen-gen yang sudah bermutasi. Karena itu, memanglah penulis harus menjadi pedestrian untuk menjaga kesadarannya sebagai manusia. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline