Lihat ke Halaman Asli

Bambang Subroto

Menikah, dengan 2 anak, dan 5 cucu

Berkemas Meninggalkan Cemas

Diperbarui: 30 September 2021   05:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Selama dua tahun ini kita berteman cemas. Pandemi gurunya. Ia memberi materi pelajaran tentang manajemen kecemasan. Setiap saat diuji, siapa sejatinya yang masih kuat.

Bersyukurlah bagi yang berhasil lolos. Walau begitu, ujian kecemasan terus berlangsung. Perubahan tatanan sosial budaya pasti terjadi. Kita seolah belajar dari awal lagi.

Dampak kecemasan bisa saja menular. Jika yang ditiup ketakutan, yang tadinya mampu bertahan mungkin akan diruntuhkan .

Rasa cemas itu subjektif. Begitu pula ketegangan, ketakutan, kegugupan, dan kekhawatiran. Mereka masih hilir mudik hadir. Intensitasnya berubah-ubah. Apalagi untuk mereka yang masih saja bersikap gegabah.

Pengalaman lalu menunjukan adanya efek domino. Korban berjatuhan satu deret, dimungkinkan karena penularan efek kecemasan. Bagi yang beruntung lolos, tentu mampu mengungkapkan rasa cemas itu. Reaksi emosi memang tak terduga-duga datangnya.

Kecemasan atau anxiety mulai merebak, manakala merebak tafsir bahwa kategorisasi zona itu menetap tak berubah. Apalagi jika penerapan protokol kesehatannya terlalu amat ketat. Kadar reaksi kecemasannya pun ikut-ikutan meledak.

Lalu rangsangan stres eksternal itu mulai berubah fungsi sebagai pemicu serius. Ini berlaku bagi yang percaya mau pun yang tidak percaya. Virus tidak berperasaan seperti manusia.

Bagi individu yang terlatih, pada umumnya masih mampu mengembangkan respon positif, tidak cenderung destruktif. 

Intensitas dampak orang per orang berbeda-beda. Dibutuhkan manuver intra-fisik dalam hal ini. Ini diperlukan agar memengaruhi intensitas reaksi kecemasan sehingga cepat beradaptasi dengan situasi yang terbarukan.

Sekuat apa pun, setiap individu itu mempunyai bakat cemas. Bagi yang berkadar tinggi,  pesimisme akan berkembang tidak karuan. Apa pun yang berlebih-lebihan memang tidak disarankan.

Pandemi itu pemicu cemas berlebih-lebihan. Jika ini dikembangkan kelewat batas, suatu saat yang dipanen adalah tergerusnya rasa percaya diri, dan tidak mampu lagi  menghargai eksistensi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline