Lihat ke Halaman Asli

Bambang Suwarno

Mencintai Tuhan & sesama. Salah satunya lewat untaian kata-kata.

Bidadari Cilik Kompensasi Cintaku

Diperbarui: 26 September 2019   13:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malaikat cantikku masih saja terus meringkuk di kamarnya. Hatinya masih sangat terpukul oleh raibnya Mas Donny beberapa hari yang lalu. Cinta ilegalnya itu telah membantingnya dalam penyesalan yang dalam. Bukan hanya tersiksa oleh duka lara cinta yang kandas saja. Tapi rasa malu yang menggunung itulah yang justru membuat Tante Asti ambruk tak berdaya.

Sejatinya aku sudah berupaya sekuat tenaga menghibur dan membesarkan hatinya. Aku juga sudah menawarkan temanku yang psikolog untuk membantunya. Bahkan aku sudah menawarkan memanggil pendeta kami untuk mendoakan dan menasihatinya. Namun semuanya itu belum bisa diterimanya. Beliau merasa belum siap untuk menemui atau ditemui siapa pun.

Aku sangat paham akan posisinya. Perkara cinta hitamnya dengan Mas Donny masih bisa Tante Asti hadapi dan tanggung. Namum rasa malu pada sekian ratus orang yang diundang pada pernikahannya yang karam itulah, yang terus merajam jiwanya. Beliau merasa sudah tak punya  harga diri lagi.

Reputasi diri yang telah susah payah dibangun bertahun-tahun lamanya, kini dirasa telah runtuh sama sekali. Potensinya, energinya, kecerdasannya, passion dan spirit hidupnya yang biasanya berkobar itu, kini seperti telah padam sama sekali.

Kondisi seperti itu pasti sangat kontra produktif. Bahkan bisa fatal. Tapi aku bisa apa? Setiap upayaku untuk menolongnya ternyata tak merubah apa-apa. Karena Tante Asti sendiri yang memang tak mau ditolong.

"Daripada Tuhan yang menghukumku, biarlah aku sendiri yang menghukum diriku ...."  Itulah yang dikatakannya padaku tempo hari. Itulah pula yang justru membuatku kelabakan, panas dingin dan gemetaran mendengarnya.

Akibatnya, tubuhnya makin hari makin melemah. Kesehatannya kian merosot tajam. Hanya bisa terkapar saja berhari-hari di ranjangnya. Meski begitu, tetap saja menolak untuk dipanggilkan dokter. Apalagi dibawa ke rumah sakit. Tapi setelah beberapa kali tak sadarkan diri, mau tak mau aku harus membawanya ke UGD Rumah Sakit terdekat.

Namun apa mau dikata? Semuanya sudah terlambat. Karena setelah ditangani oleh dokter dan timnya, sejam kemudian Tante Asti menghembuskan nafas terakhirnya.

***

Astaga putri siapa ini? Seruku disentak kekagetan begitu sampai di rumah dari pulang kerja. Ya, aku sangat terkejut sore itu! Betapa tidak? Seorang gadis cilik berumur sekitar lima atau enam tahunan, tiba-tiba kudapati tergolek dan tertidur pulas di lantai teras rumahku. Dengan berdebar, pelan-pelan kudekati dirinya. Kuamatinya dari ujung kepala sampai ke ujung kakinya.

Wajahnya cabi dan imut, tapi cantik sekali. Rambutnya yang semi keriting itu lepas tergerai. Dadanya bergerak turun dan naik. Desah nafasnya teratur bebas setengah mengorok. Pertanda bahwa tidurnya sangat berkualitas. Bisa jadi ia dilanda keletihan hari ini. Namun mengapa ia sendirian berada di sini? Anak siapakah ini? Kenapa tidak pulang ke rumahnya sendiri? Atau kenapa sampai sesore ini tak ada yang mencarinya? Ibu bapaknya di mana?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline