Lihat ke Halaman Asli

Abdul Rahim

pengajar di Fakultas Ushuluddindan Studi Agama UIN Mataram, Pegiat Rumah Belajar dan Taman Baca Kompak, Lombok Timur

Kondisi Sosial dalam Bingkai Penobatan Wisata Halal

Diperbarui: 30 Oktober 2015   19:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semenjak dinobatkannya Lombok sebagai salah satu pemenang wisata halal dan destinasi bulan madu terbaik dunia pada pekan lalu, tak kurang dari 137 pengguna Facebook (berteman dengan penulis) membagikan ucapan selamat atas peraihan tersebut dan terus berlanjut sampai H+4 setelah acara. Begitu juga dengan media lokal dan Nasional, lebih-lebih media online tak ketinggalan menampilkan headline terkait hal tersebut. Kebanyakan mungkin merasa (sangat) bangga dengan penobatan tersebut sebagai hasil usaha atas promosi-promosi yang dilakukan melalui berbagai cara untuk menarik minat wisatawan asing. Lalu peraihan tersebut bisa dikatakan sebagai titik terang untuk terus mengembangkan pariwisata daerah agar semakin dikenal luas lebih-lebih di tingkat Internasional.

Bagi saya pribadi ada hal yang janggal terkait penobatan tersebut, jika kita menilik tentang label Halal yang biasa digunakan kaum Muslimin sebagai acuan untuk sesuatu, baik benda maupun tindakan, maka secara tidak langsung label tersebut menjurus pada hukum Syariah dalam Islam yang memang mayoritas di Lombok. Terkait penobatan tersebut tidak banyak media yang membeberkan hal apa yang menjadikan Lombok bisa mendapat predikat untuk peraihan tersebut. Begitu juga dengan BPPD yang menaungi promosi wisata daerah tak ada gaungnya untuk memberikan keterangan terkait dan capaian-capaian selanjutnya setelah penobatan tersebut.

Sebelum dilangsungkannya acara penobatan tersebut, bertepatan dengan masuknya tahun baru Islam 1 Muharram lalu, salah seorang kawan yang bergelut di wisata wilayah Senggigi menggaungkan slogan wisata Syariah juga untuk kawasan Senggigi, namun ketika saya tanyakan konsep wisata syariah itu seperti apa Dia malah balik bertanya kepada saya kira-kira meminta usulan. Hal serupa juga diterangkan oleh salah seorang kawan yang sekarang terjun di dunia jurnalis media lokal NTB, ketika saya tanyakan fungsi Islamic Center yang sekarang masih tahap pembangunan masuk priode kedua masa pemerintahan gubernur pengusung, Islamic Center tersebut merupakan salah satu destinasi wisata syariah untuk NTB, seperti halnya makassar, aceh yang mempunyai islamic center nan megah.

Islamic center NTB yang dihajatkan untuk destinasi wisata syariah bahkan belum jadi pun sudah menjadi area wisata yang sempat tenar di media sosial. Banyak yang mengunggah foto di menaranya yang tinggi dan bisa menjangkau pandangan untuk seluruh wilayah kota Mataram, menjadikan menara tersebut sempat menjadi usaha liar bagi penjaga lift untuk naik ke menara tersebut. Kawan jurnalis tadi menceritakan jika ingin naik ke menara tersebut harus membayar tiket 5 ribu rupiah per orang, waktu berkunjung untuk menara tersebut tidak diceritakan secara rinci. Foto-fotonya ketika di atas menara diperlihatkan pada saya, tak sengaja tertangkap di belakang mereka yang sedang berfoto ada gadis-gadis remaja menggunakan baju lengan pendek tanpa jilbab dan celana ketat berada di atas menara itu juga. Bahkan banyak juga dengan bangganya upload foto tanpa jilab ketika mereka di atas menara yang dihajatkan sebagai wisata syariah tadi.

Dari kejadian tersebut saya mulai berpikir tentang konsep wisata seperti apa sebenarnya yang digagas melalui Islamic center ini. Sebut saja Masjid Raya At Taqwa Mataram yang berdampingan dengan lokasi Islamic center, bangunannya bisa dikatakan sudah mulai kusam dan kalah megah jika dibandingkan dengan masjid-masjid kecil lainnya, namun karena berada di pusat kota dan menjadi pusat berkumpulnya jamaah-jamaah halaqah dan pengajian lainnya menjadikan masjid raya tak pernah sepi dikunjungi, baik orang yang akan ibadah maupun sekedar sebagai tempat istirahat melepas penat. Tak jarang juga jamaah yang mengadakan kajian setiap malam Jumat mendatangkan pemateri dari negara luar, seperti Syeikh dari Pakistan, India, Iran dan Arab. Bahkan ibadah malam pun senantiasa tetap digaungkan bagi jamaah yang menginap di masjid, lebih-lebih pada bulan Ramadhan. Dari sini saya pahami bahwa jika ingin memasyarakatkan syariat islam cukup dengan memakmurkan masjid dan menjadikannya sebagai pusat kajian keagamaan yang mengcover semua masyarakat untuk ambil peran di dalamnya.

Konsep menjadikan tempat ibadah sebagai objek wisata nampaknya perlu mendapatkan kajian lebih mendalam jika menilik beragamnya pengunjung yang akan datang ke NTB. Seperti yang kita ketahui peraihan label wisata halal tersebut dikeluarkan oleh salah satu negara Islam berdasarkan voting wisatawan Muslim yang pernah berkunjung ke Lombok, maka tidak heran pulau kecil kita dengan julukan Seribu Masjid juga di setiap tempat wisata menyediakan tempat ibadah bagi kaum Muslim, mungkin inilah salah satunya yang mengantarkan Lombok sebagai peraih wisata halal.

Lebih lanjut terkait Label wisata halal terbaik di dunia, akankah menjadikan masyarakat Lombok semakin religius dan selalu mengedepankan syariat Islam ataukah label tersebut hanya sekedar label yang tidak kita pahami tujuan dari penyematan tersebut. Lalu wisatawan-wisatawan non muslim yang berkunjung ke Lombok akankah ada regulasi Perda yang mengatur untuk menjaga aurat dan melarang penjualan minuman beralkohol di manapun itu.

Penyematan label halal tersebut merupakan cambuk pelecut bagi pemangku kebijakan saat ini untuk terus membenahi sosial masyarakat kita yang pernah tercoreng dengan ulasan Media Indonesia beberapa waktu lalu yang bertajuk "Lombok Seribu Masjid, Seribu Maling". Karena memang saat ini kondisi wilayah yang dilanda kekeringan di beberapa daerah dan minimnya lapangan kerja bisa dianalogikan sebagai pemicu munculnya tindak-tindak kriminal yang meresahkan masyarakat. Karena itu sinergi antara semua pihak untuk membangun daerah bukan hanya fokus pada pariwisata tetapi kondisi sosial masyarakat tetap jadi yang utama.

Dampak peraihan wisata halal terbaik tersebut mungkin tidak langsung berimbas pada kesejahteraan masyarakat walaupun berada di area wisata. Tak jarang masyarakat kita yang seharusnya menikmati surga yang para wisatawan katakan untuk daerah kita hanya menjadi penjaja barang dagangan, bahkan banyak yang memulung plastik bekas di sekitar tempat wisata untuk sekedar dapat menyambung hidup. Lalu kesejahteraan yang diidam-idamkan tak kunjung terwujud sekalipun label internasional bergengsi tadi telah didapatkan, dan itu hanya berdampak bagi mereka yang mempunyai usaha-usaha kelas menengah ke atas, seperti pemilik hotel, penginapan atau cafe-cafe besar yang menyediakan fasilitas memadai bagi wisatawan asing. Sementara masyarakat kelas menengah ke bawah tetap pada kehidupan mereka yang hanya mengandalkan bakulan, asongan untuk dijajakan di tengah terik matahari.

Peraihan wisata halal ini bisa dikatakan telah menjebak persepsi masyarakat kita untuk sekedar berbangga dengan penobatan tersebut. Sementara di satu sisi promosi-promosi wisata untuk wisatawan asing terus digencarkan yang semakin menguntungkan pemilik modal besar di area wisata dan secara tidak langsung menggeser posisi masyarakat kelas menengah ke bawah semakin kesulitan untuk menjajakan asongan mereka karena semua yang dijual pedagang asongan telah tersedia di tempat-tempat penginapan besar yang sekaligus menyediakan mini market (food court). Akan tetapi pasrahnya pedagang asongan akan hal tersebut bernilai positif dengan mereka tetap teguh dengan prinsip "Rizki Sudah ada yang mengatur".

Selain itu konsep wisata yang sesuai dengan label halal tersebut menjadi PR besar bagi para pelaku pariwisata dan pemangku kebijakan saat ini untuk terus membenahi infrastruktur, keamanan serta kenyamanan wisatawan yang berkunjung . Tugas pemerintah daerah dalam hal ini diwakili BPPD bukan hanya saat promosi dan perizinan, tak lupa juga penjagaan dan pemeliharaan tempat wisata seharusnya mendapat perhatian lebih baik. Jangan sampai setelah mendapat sindiran baru ikut bertindak untuk pemeliharaan tempat wisata, seperti halnya yang dilakukan beberapa waktu lalu oleh para santri dan civitas dari salah satu Pondok Pesantren di Narmada yang peduli akan kebersihan pantai dan keberlangsungan ekosistem laut. Karena memang banyak pelaku wisata baik pedagang maupun pengunjung masih acuh tak acuh akan kebersihan tempat wisata, dibarengi dengan minimnya pembinaan kepada pelaku wisata tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline