Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Naik Bus ke Pecinan

Diperbarui: 29 Januari 2023   20:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://poskota.co.id/

Di bagian belakang pasar Petak Sembilan, aku menempelkan wajahku ke tangki berisi kodok, gundukan tubuh berkutil yang menggumpal. Aku bertanya kepada Ibu apakah aku bisa memiliki satu untuk menjadi hewan peliharaanku.

Setelah beberapa ayunan golok, kami membawa kantong plastik berisi puntung dan kaki kodok merah muda, kulit yang terkelupas, urat putih kecil mengilap berkilau.

Ibu melewati jalan-jalan Glodok yang ramai, aku berjuang di belakangnya untuk tidak tertinggal.

Kami naik metromini untuk pulang. Aku dan Ibu mendapat tempat duduk. Baru saja aku menarik napas, seorang wanita tua berdiri di depan kami, menepuk pundakku dengan tongkatnya, dan berkata, "Anak-anak yang baik memberikan tempat duduk mereka kepada orang tua."

Aku bangkit, tapi Ibu menarikku kembali. Kausku menggumpal di tangan Ibu. "Jangan dengarkan dia," kata Ibu dalam dialek Kanton.

Di rumah, Ibu menggoreng kaki katak dengan jahe dan daun bawang, dibumbui dengan saus cokelat gurih. Bibir Ayah berdecak, bernapas melalui mulut sambil mengunyah, terdengar seperti suara mesin sedot debu yang menekan tirai penutup jendela.

Aku menatap kaki kodok di piringku, tapi tidak makan.

"Tidak ada tempat di rumahku untuk anak laki-laki pemilih," kata Ibu.

Tetap saja aku tidak menyentuh swike itu, bahkan setelah Ibu menampar pipiku.

Aku tidak pilih-pilih, dan aku tidak peduli bahwa Kermit dan teman-temannya diamputasi dengan golok. Aku kelaparan, dan dengan saus cokelat Ibu, kaki-kakinya mungkin enak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline