Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Kasus Sang Harimau (Bab 66)

Diperbarui: 7 Desember 2022   21:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pri. Ikhwanul Halim

Aku tidur larut sampai keesokan paginya dan membiarkan Kirana ketika dia bangun pagi untuk menyiapkan sarapan untuk para tamu. Dibangunkan sekitar pukul setengah sembilan ketika dia kembali dengan secangkir teh hangat, dan kami berbagi ciuman dan pelukan.

Aku turun ke bar pada pukul sepuluh tiga puluh dan menyapa Danar Hadi yang mengangkat alisnya melihat kedatanganku yang terlambat. Aku duduk dengan tenang di meja dekat jendela. Kepalaku sakit sekali dan lututku berdenyut-denyut. Aku telah mengobati sebagian luka di tangan, tetapi bekas gigi Kujang bagai melirik ke arahku.

Namun wajahku tak menampakkan rasa sakit. Aku tak ingin Danar yang sering bertindak sebagai pemburu godip yang tak pernah puas mengajukan terlalu banyak pertanyaan.

Tidak biasanya aku minum pukul setengah sebalas pagi, tetapi pagi ini tampaknya hal yang paling alami di dunia. Sambil minum, aku menyusun rencana.

Kujang si Muka Curut sudah mati. Aku yang menghabisinya. Sepertinya tidak ada gunanya memikirkan dia lagi. Jika mayatnya ditemukan, Joko Seng akan membereskannya. Aku tidak merasa menyesal membunuh Kujang. Bagaimanapun juga itu jelas merupakan kasus bela diri. Jika Kujang tidak terjun ke laut, dia pasti akan membunuhku.

Namun, aku masih belum menemukan David, meskipun sekarang cukup jelas bahwa dia ada di suatu tempat di Anyer. Masih ada Bulbul---Feri Said. Betapapun mabuknya dia, aku tak bisa mempercayai cerita Andir Bibir bahwa dia telah menghancurkan kapal pukat hanya untuk bersenang-senang.

Aku menghabiskan minumanku dan pergi keluar. Udara dingin menyegarkan dan kepalaku mulai jernih. Aku akan mendatangi Feri Said. Dari yang kudengar, dia kemungkinan lebih sulit dari Kujang, dan aku tak mengharapkan yang lebih baik lagi.

Aku ingat Joko mengatakan bahwa beberapa anak buahnya akan berada di Anyer, membuatku  sama nyamannya dengan tonjolan gagang pistol otomatis .32 di balik jaket kulitku. Untuk membuktikan janji Joko, seorang nelayan paruh baya yang mengenakan kaus biru kasar dan sepatu bot karet menyeberang jalan dan berdiri beberapa meter dariku, sibuk melinting rokok.

Ketika aku berpapasan dengannya, dia menoleh ke kiri dan kanan kemudian berkata pelan, "Pukat Feri Said ditambatkan di dermaga. Ketika Anda bertemu dengannya, katakan bahwa Anda adalah seorang pedagang seni yang sedang mencari lukisan untuk galeri baru Anda. Anda telah melihat gambar karyanya dan Anda pikir itu cukup bagus. Anda telah diberitahu tentang Feri oleh Wang Chu Min. Anda sebaiknya mengulanginya kembali kepada saya."

Dia tidak perlu khawatir. Aku punya ingatan yang siap menyerap detail seperti itu. Nelayan itu mengangguk dan kemudian meludah dengan tepat di jalan berbatu. Dia berkata, "Semoga beruntung." Kemudian dia tiba-tiba berbalik dan menuju Balai Lelang Ikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline