Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

CMP 63: Lukisan Kantor

Diperbarui: 16 Oktober 2022   09:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Annelieke Bosdijk on Unsplash 

Aku melukis gambar tentang dia. Lalu menunjukkannya padanya pada suatu hari Sabtu, setelah dia pulang kerja. Setelah mengerjakannya cukup lama, akhirnya memutuskan lukisan itu selesai. Aku tahu aku sudah selesai dengan lukisan itu, bahwa aku tidak akan menambah atau mengurangi apa pun, tetapi aku masih belum seratus persen yakin dia siap untuk melihatnya.

Tapi hari itu telah tiba.

Cantik sekali, pasti begitu pikirnya. Sangat rinci. Dia tahu pasti butuh waktu lama untukku menyelesaikannya. Itu adalah lukisan tentang dia dan kantornya, dari sudut yang tinggi sehingga semua bilik tampak seperti kotak kosong berisi cokelat. Sangat akurat. Dia bisa melihat Donna dari akuntansi, headphone, menonton sesuatu di Netflix di mejanya. Di sebelahnya ada Amir, menyebarkan remahan kripik singkong dari jari-jarinya ke keyboard.

Dan kemudian ada biliknya. Dia bisa melihat dirinya sendiri, dari atas, tidak menyadari bahwa dia sedang diawasi. Dan dalam lukisan itu dia terlihat sangat sedih. Cahaya di biliknya berbeda dari cahaya di tempat lain, sebagai pusat semesta , tepat di mana mata langsung tertuju. Setidaknya itu niatnya.

Di sanalah dia, bermandikan cahaya biru yang bersinar dari atas mengisi ruangnya, pilar safir, menembus bagian atas bingkai. Dalam cahaya, sosoknya membungkuk di atas beberapa dokumen. Tangan menumpu mata kanannya. Dia praktis bisa mendengar desahannya sendiri.

Dia menatap lukisan itu untuk waktu yang lama. Aku memperhatikan saat dia menerimanya, gugup tapi bangga, setengah tersenyum. Ekspresinya lebih sulit untuk dibaca. Aku tidak tahu apakah dia menyukainya atau tidak, tetapi berasumsi hatinya tersentuh. Dia mengulurkan tangan dan menyentuh kanvas. Catnya kering --- cat minyak --- dan rasanya pastilah sebagian besar seperti yang dia harapkan. Ekspresinya tetap netral.

Kemudian dia mencakar lukisan itu, menggaruk dengan kukunya, sisa-sisa pesta akhir pekan itu. Satunya hilang. Wajahnya masih tidak terbaca, dia melanjutkan untuk menendangnya, gerakan bela diri yang cepat. Dia merobek kanvas dengan tumit sepatu kerjanya. Buinyi suara robekan membelah ruangan.

Dia kehilangan keseimbangan sedikit dan aku melangkah untuk menenangkannya.

Aku kaget dan bingung. Pada lukisanku yang detail sekarang terdapat lubang acak, di atas dan di sebelah kiri tempat biliknya berada, tepat menembus dispenser. Dia menatapku. Air matanya menggenang.

"Cantik sekali," katanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline