Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Halim

TERVERIFIKASI

Penyair Majenun

Legenda Sang Perusak (Bab 7)

Diperbarui: 12 September 2022   11:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pri. Ikhwanul Halim

Setengah siuman di dalam mobil tak lama setelah meninggalkan Tesso Nilo, Awang dengan keras menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Masih sedikit pusing dan bingung, tetapi itu hanya menambah ketegaran dan perlawanannya sehingga membuat Kuntum tidak punya pilihan selain membawanya pulang. Dia nyaris gagal memapahnya ke tempat tidur sebelum suaminya kembali hilang kesadaran dan tidur sepanjang sisa hari dan sepanjang malam, nyaris tak bergerak dalam tidurnya.

 Kuntum berbaring di sampingnya, cemas dan terjaga selama separuh malam, bertanya-tanya apakah dia telah melakukan hal yang benar dengan membawa suaminya pulang seperti yang dia minta. Tadinya dia percaya dia tidak punya pilihan, tapi sekarang dia tidak begitu yakin.

Awang memulai hari keesokan paginya dengan semangat seperti layaknya seorang lelaki yang menderita cedera kepala. Dia berbaring di tempat tidur selama beberapa jam setelah alarmnya berdering. Kepalanya berdenyut kencang jika dia bergerak, sehingga dia berpikir untuk menelan pil pereda nyeri.

Ketika dia akhirnya benar-benar bergerak, dia merasa seperti mainan rusak, bergerak dengan gemetar dan mengeluarkan suara mendesah lucu. Dia tidak berpikir akan bisa menangani satu-satunya praktik medis di Taluk Kuantan hari itu, dan mungkin tidak untuk beberapa tahun lagi. Dia sangat membutuhkan cuti sebentar, dan koma tidak dihitung sebagai liburan dalam bukunya.

Sakit kepala ini tak mungkin sembuh dengan sendirinya, dia bergumam pada dirinya sendiri ketika akhirnya berguling keluar dari tempat tidur untuk mencari udara segar.

"Kuharap ada yang mau membeli bangunan terkutuk di sebelah. Bangunan itu terpelihara dengan baik seperti dari awal pembangunannya. Kadang-kadang aku benci kota ini. Bangunan seperti itu tidak akan pernah kosong di kota yang sebenarnya."

Mengingat apa yang baru saja mereka alami sehari sebelumnya, Kuntum agak terkejut tapi jelas tidak kaget dengan topik yang pertama kali keluar dari mulut Awang.

"Mengapa kamu tidak lupakan saja tempat itu dan membiarkan pialang yang menanganinya?" tanyanya bergumam kelelahan, tetapi tidak bisa kembali tidur karena gumaman Awang memenuhi telinganya untuk kesembilan ratus kalinya dalam beberapa tahun terakhir. Dia akhirnya menyerah pada keinginan untuk tidur dan menjejakkan kakinya ke lantai.

Masih bergumam, Awang melanjutkan. "Karena 'pialang' yang hebat itu telah mencoba menjual tempat itu dari delapan tahun yang lalu. Kalau sudah laku, kita bisa menggunakan uang penjualannya untuk membayar pinjaman untuk pendidikan spesialisku. Kamu tahu itu, kan, Sayang?"

Kuntum tahu dia juga berhak untuk mengeluh karena hal yang sama berputar-putar di benaknya hampir setiap saat akhir-akhir ini. Ketika mereka menikah empat tahun sebelumnya, mereka berasumsi bahwa rumah duka Dermawan yang kuno akan terjual dan membantu mereka secara finansial selama tahun-tahun pertama mereka. Atau, setidaknya membantu sampai praktik medis Awang berjalan lancar.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline