Lihat ke Halaman Asli

Menyoal Mimpi, Mari Kita Berdansa

Diperbarui: 6 Agustus 2019   11:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sembari melahap camilan yang disuguhkan, Dandhi Priyadi menceritakan mimpinya. Saat ini ia masih duduk di bangku sd di Desa Ciawi meskipun umurnya telah menginjak 16 tahun. Desa Ciawi terletak di Kecamatan Banjarharjo Kabupaten Brebes. Berada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat membuat warga di kecamatan Banjarharjo acap kali berbahasa Sunda sekaligus Jawa.

Desa itu bukanlah desa dengan kesadaran mengenyam pendidikan yang tinggi. Beberapa orangtua kerap membiarkan anaknya memilih bekerja ketimbang bersekolah. Sebagian ingin anaknya menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Tercatat, ada 11 Anak Tidak Sekolah (ATS) di Desa Ciawi yang rata-rata berhenti di bangku Sd. Jumlah itupun bisa saja bertambah.

Tentu saja faktor ekonomi bermain disini. Menurut Karyono, Kepala Desa Ciawi, Keterbatasan ekonomi menjadi alasan utama rendahnya tingkat pendidikan di tempatnya. "Faktor lainnya ada pergaulan yang buruk, serta ketidakyakinan orangtua pada kemampuan anaknya mengenyam bangku pendidikan," kata Karyono, di suatu malam di kediamannya.

Karyono lalu mengisahkan tentang Gerakan Kembalinya Bersekolah (GKB). Program itu salah satu andalan maut Daerah Brebes dibawah naungan Forum Masyarakat Peduli Pendidikan (FMPP) untuk mengurangi jumlah ATS.

Di kesempatan lain, Riyadi Santoso, Wakil Ketua FMPP tingkat kecamatan, mengatakan Daerah Brebes telah mengucurkan APBD sebesar 5,7 milyar untuk membangun sektor pendidikan. Kucuran dana itu menjelma angin segar bagi FMPP demi memaksimalkan GKB. Targetnya, GKB dapat mengembalikan setidaknya 300 ATS di Kecamatan Banjarharjo ke sekolah.

Di desa kecil itu Dandhi tumbuh. Orangtuanya petani. Ayahnya menikah 2x. Dengan istri pertama, ia memiliki dua orang anak. Sedang Dandhi merupakan anak dari istri kedua.

Mamat, Kakak pertamanya, menjadi pengusaha sayuran dan berkeluarga di Jakarta. Sedangkan Olis, Kakak keduanya, menetap di Taiwan sebagai TKI. 

Ayahnya berperangai keras. Ia pernah memukuli Olis karena ketahuan bolos sekolah. Dandhi pun pernah dipukuli ketika berusia 11 tahun sebab mencuri uang ibundanya untuk membeli minuman keras (Miras).

Sampai sekarang, hampir setiap hari Dandhi bersama kawan-kawannya merayakan malam dengan sebotol miras. Harganya berkisar 35 rb sampai 150 rb. 

Untuk mencegah hal itu, Bintara Pembina Desa (Babinsa) melakukan penyuluhan terkait bahaya miras. Pencegahan itu diperlekas melalui kegiatan razia ke sudut-sudut desa. Bukannya mengurangi, Babinsa malah memaksa Dandhi dan kawan-kawan untuk minum secara sembunyi.

Suatu Siang, Saya tengah mencuci pakaian kotor ketika Dandhi mendatangi Posko Kuliah Kerja Nyata (KKN) dalam keadaan mabuk. Di tangan kirinya, ia menggenggam sebungkus plastik Ciu berukuran sedang yang sudah habis setengahnya. Saya pun menyuruhnya pergi demi menghindari hal-hal yang tak diinginkan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline