Lihat ke Halaman Asli

Lingkungan Sebagai Komponen Promosi

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Oleh : Atep Afia Hidayat - Sebuah merk perfume body spray antara lain menuliskan kalimat ozone free aerosol dengan huruf dan warna yang mencolok. Tujuannya tak lain agar konsumen atau calon konsumen mengetahui bahwa produk tersebut cukup “bersahabat” dengan lingkungan, tidak menimbulkan dampak yang merugikan, misalnya tidak merusak lapisan ozone.

Begitu pula di beberapa Negara Eropa Barat, pada kemasan-kemasan produk tertentu yang terbuat dari kayu ada keterangan yang menyatakan bahwa produk tersebut terbuat dari kayu yang ditanam secara sustainable (berkelanjutan). Hal tersebut menunjukkan bahwa aspek lingkungan telah dijadikan sebagai komponen promosi, bahkan cap eco labeling kini sudah banyak dipergunakan di berbagai negara.

Merupakan perkembangan yang sangat baik jika aspek lingkungan semakin banyak diperhatikan. Industri yang menghasilkan produk yang mencemari lingkungan sudah sewajarnya semakin berhati-hati dan bersiap-siap untuk diboikot. Dengan demikian setiap pengusaha perlu menambah wawasan lingkungannya, tidak hanya berwawasan bisnis semata.

Dalam empat dekade terakhir tampak bahwa kesadaran lingkungan (darling) masyarakat terus menguat, baik yang bermukin di pedesaan atau perkotaan. Masyarakat semakin peka dan kritis terhadap kasus-kasus lingkungan. Terlebih dengan adanya dukungan dari LSM, pers, perguruan tinggi dan pemerintah, maka wawasan lingkungan (wasling) masyarakat semakin meningkat.

Masyarakat merupakan konsumen untuk berbagai produk industri, baik makanan, obat, peralatan rumah tangga hingga kendaraan bermotor. Produk yang dipilih tidak hanya yang bagus, kuat dan harganya relatif terjangkau, namun juga yang dalam proses pembuatannya tidak mencemari lingkungan.

Tingkat darling tersebut akan terus membaik bersamaan dengan semakin meratanya penyebaran informasi. Berbagai berita mengenai pencemaran lingkungan sering disiarkan media cetak, elektronik dan online.

Saat ini masyarakat tidak hanya berpangku tangan dalam menghadapi kasus lingkungan, namun mampu berbuat sesuatu. Seringkali terjadi konflik antara masyarakat dengan perusahaan yang tidak bersahabat dengan lingkungan. Untuk menangani berbagai kasus pencemaran lingkungan diperlukan hukum lingkungan yang lengkap dengan proses penyidikan. Hingga saat ini tenaga penyidik kasus pencemaran lingkungan masih sangat kurang, tak heran jika penanganan masalah seringkali terbengkalai..

Pakar lingkungan hidup Prof. Dr. Emil Salim pernah menyatakan, bahwa sewaktu dirinya masih menjabat MenegKLH praktis setiap hari menerima laporan tentang pencemaran lingkungan. Menurutnya kesadaran masyarakat meningkat karena penduduk terus bertambah dan kepadatannya meningkat, hingga keperluan akan air bersih pun meningkat.

Semakin banyak yang menderita (karena kasus pencemaran lingkungan, pen) menjadi semacam critical mass yang vokal. Selain itu, ternyata tingkat pendapatan pun meningkat sehingga standar kehidupan membaik, aspirasi pun berkembang, di sisi lainnya tingkat pendidikan juga membaik sehingga semua orang bisa membaca surat kabar, menonton televise atau mengakses internet. Dengan demikian keinginan untuk terciptanya lingkungan yang bersih pun terus berkembang.

Jika pengusaha kurang tanggap terhadap hal itu, atau menurut penuturan Emil Salim, “It is for your interest. If the complains to you, you must take action. If you don’t take action kamu ambil risiko”. Risiko pertama ialah tindakan oleh pemerintah, risiko lain ialah langkah oleh masyarakat. Jadi masyarakat bisnis harus peka terhadap aspek lingkungan demi kepentingannya sendiri. Sebagaimana dikutip oleh Majalah Eksekutif sekitar tahun 1993. Saat ini, pertengahan 2011, pernyataan tersebut semakin relevan dengan kondisi yang ada.

Dengan semakin membaiknya wawasan lingkungan masyarakat, sudah selayaknya setiap pengusaha menjadikan lingkungan sebagai komponen promosinya. Tak lain agar berbagai produk yang dilempar ke pasar bisa disambut konsumen, tidak diboikot dan dikucilkan.

Namun dalam hal ini jangan sampai pengusaha “membohongi” masyarakat, misalnya mencantumkan “bersahabat dengan lingkungan” dalam kemasan produknya, namun ternyata dalam pembuatannya justru masih mencemari lingkungan.

“Dosa” pengusaha yang demikian tentu saja jauh lebih berat, bahkan melakukan kesalahan ganda, selain menipu konsumen juga merusak lingkungan. Dengan demikian, sudah semestinya setiap pengusaha memasukan instalasi pengolahan limbah atau penyaring debu sebagai biaya produksi. Kalaupun belum mampu secara individu, fasilitas pengolahan limbah tersebut bisa diperoleh degan cara patungan.

Untuk kawasan industri tertentu, sudah ada perusahaan yang khusus menangani limbah, sehingga perusahaan lainnya tak usah repot-repot tinggal mengalikan limbahnya dan memberikan fee.

Bagaimanapun setiap langkah bisnis tentu selalu berorientasi pasar, selalu memperhatikan peluang pasar. Belakangan ini pasar ternyata semakin erat dengan lingkungan. Di Eropa Barat umpamanya ada the blue angel, berarti setiap produk yang masuk harus menggunakan teknologi bersih atau teknologi yang bersahabat dengan lingkungan. Produk yang dalam pembuatannya mencemari lingkungan, sudah tentu sulit menembus pasar Eropa Barat dan beberapa negara lainnya. Lantas, sudah siapkah para pengusaha Indonesiaberadaptasi?. (Atep Afia)

Sumber Gambar:

http://smallbiztrends.com/wp-content/uploads/2010/02/green-business-practices.jpg




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline