Lihat ke Halaman Asli

Di Hidup Yang Hanya Sekali Ini, Bolehkah Aku Memilih?

Diperbarui: 31 Mei 2025   19:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Katanya, hidup itu adalah pilihan. Namun, pernahkah kamu diberi kesempatan untuk memilih?

Setiap detik dalam hidup adalah sebuah pilihan. Tanpa disadari, sepanjang hidup ternyata manusia telah membuat puluhan, ribuan, bahkan jutaan keputusan untuk dirinya sendiri. Menentukan pilihan terbaik menurutnya. Memilih apa yang ia inginkan, apa yang ingin ia jalani, dan apa yang ingin ia dapatkan. Namun, apakah kesempatan itu pernah datang kepadamu? Pada dasarnya, hidup bukan hanya tentang menginginkan, tetapi juga tentang menerima.

Aku berada di bawah langit jingga yang membentang ditemani matahari tenggelam. Menyaksikan anak-anak berseru riang dari atas balkon. Berlarian kesana kemari, mengayuh sepeda yang harus di rem menggunakan kaki, dan anak perempuan yang sibuk memotong rumput untuk dimasak di kompor mainan mereka. Bibirku tanpa sadar membentuk lengkungan mirip seperti sebuah senyuman. Senang rasanya membayangkan jika diriku yang dulu bisa merasakan seperti mereka juga. 

Aku beralih pandang ke sisi timur, kulihat seorang gadis kecil duduk termangu di teras rumahnya. Tak ikut bermain, tak juga memandang anak yang sedang bermain. Pandanganku terkunci, tak teralihkan barang sedetikpun.

---

Pagi itu, ibu memanggilku untuk segera menyantap sarapan yang sudah ia buatkan. Aku duduk hanya berdua dengan ibu di meja makan. Awalnya, semua baik-baik saja, ibu menanyakan bagaimana sekolahku, tugas yang diberikan guruku, dan bekal apa yang ingin kubawa besok, pertanyaan yang sudah rutin ditanyakan ibu padaku. Namun, ada satu pertanyaan, ah... aku juga tak tahu ini pertanyaan atau pernyataan.

"Besok mulai ikut sanggar tari, ya? Pulang sekolah kamu masih bisa istirahat tiga puluh menit sebelum ke sanggar. Nggak setiap hari, kok. Cuma Senin-Kamis aja. Mau, ya?"

Aku menolak.

Jelas kusadari diriku ini tidak memiliki potensi dan keinginan untuk berkecimpung di dunia yang kental dengan seni, apalagi tari. Kukatakan tidak, namun sepertinya itu hanya menjadi angin lalu. Ibu tak mendengarku. Esok harinya aku tetap harus berangkat meski takmau. Kujalani hari demi hari yang sama sekali tak kusenangi itu. Aku berusaha keras agar bisa jatuh cinta dengan apa yang sedang kutekuni kala itu, tapi nihil. Aku tetap menjalaninya dengan setengah hati.

Tibalah minggu pertama di bulan kedua aku bergabung dalam sanggar tari itu. Hari itu tak akan kulupakan mungkin seumur hidupku, singkat namun sangat membekas. Aku memang masih kurang fasih dalam melakukan gerakan-gerakan tari yang harus gemulai. Tubuhku bak sebatang kayu kokoh diantara rumput yang bergoyang, kaku. Pelatih sanggar menegurku, namun dengan pilihan kata yang kurasa kurang pantas untuk diucapkan kepada orang lain, terutama anak-anak. Kutahan air mata yang hampir terjun bebas ini, malu jika dilihat teman lain. Kuselesaikan latihan hari itu dengan hati yang diselimuti awan mendung, bisa tumpah kapan saja. Kuputuskan setelah hari ini, aku tak akan datang ke sanggar lagi, selamanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline