Lihat ke Halaman Asli

Sudut Pandang Jual Beli dalam Islam

Diperbarui: 10 Agustus 2020   16:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Oleh: Astri Hardina Amelia

...Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
 (QS. Al-Baqarah ayat 275).
Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar (pilihan untuk meneruskan atau membatalkan akad jual beli) selama mereka belum berpisah. (HR. Bukhari-Muslim).

Transaksi jual beli dalam Islam berorientasi tidak hanya tumpang tindih, melainkan keduanya saling menguntungkan antara penjual dan pembeli. Karenanya, riba diharamkan dalam Islam, sebagaimana dalil yang termaktub dalam QS. Al-Baqarah ayat 275 yang juga sebagai pondasi atau dasar hukum dari jual beli itu sendiri.

Sebab, kita ketahui bersama, sepanjang sejarah manusia jual beli akan terjadi di belahan bumi manapun. Hal tersebut dapat kita pahami karena manusia selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya baik dari segi sandang, pangan, dan papan. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin telah mengatur kehidupan sosial (muamalah) antar manusia, agar satu sama lain dapat menjalin keharmonisan bukan keterpaksaan, yakni jual beli atau dalam Islam disebut sebagai al-bai atau al-Tijarah.

Sebelum kita menilik lebih lanjut, perlu kita dudukkan pemahaman terkait makna dari jual beli. Mengutip dari kitab Kifayatul Ahyar disebutkan pengertiaan jual beli menurut bahasa adalah memberikan sesuatu karena ada pemberian (imbalan tertentu). Sedangkan menurut Sayyid sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah menerangkan jual beli secara etimologi menurut pengertian lughawiyah adalah pertukaran (saling menukar).

Dan merujuk pengertian dari istilah fiqh lainnya, yakni Muhammad bin Ismail al-Kahlani yang ditulis di kitab yang berjudul Subul al-Salam, mendefenisikan jual beli sebagai sesuatu pemilikan harta dengan harta, sesuai syari dan saling rela.

Maka, kita dapat menarik benang merahnya bahwa jual beli dapat diterjemahkan sebagai proses tukar menukar antara penjual dan pembeli dengan berlandaskan rasa saling rela dari kedua belah pihak tersebut.

Setelah mengetahui maknanya, ternyata aplikasi di lapangan tak sedikit mengundang problematika sosial yang mengakibatkan pertengkaran karena tidak dijalankannya undang-undang syariat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, sang pengatur yang Maha Bijaksana lagi Adil dalam urusan jual beli. Padahal fungsi aturan hukum tersebut sebagai pengemban kebaikan bagi berlangsungnya kegiatan muamalah.

Oleh karena itu, jual beli dalam sudut pandang Islam dianggap sah bilamana telah memenuhi syarat dan rukun tertentu, diantaranya meliputi pertama, shigat (pernyataan) yaitu ijab dan qabul (serah terima) antara dua pihak, si penjual dan si pembeli dengan lafadz yang jelas bukan secara sindirian yang mengharuskan tafsiran sehingga bisa mencuat silang pendapat.

Yang kedua ialah aqidayn (orang yang membuat perjanjian) yaitu penjual dan pembeli, pun dengan ketentuan dimana keduanya sudah baligh dan berakal sehat sehingga mengerti tentang hakikat barang yang mau dijual atau dibeli. Dan terakhir, ialah maqud alaih yaitu objek abrang yang diperjualbelikan. Sebab jika kontra jual beli tersebut sudah dijalankan dengan benar, maka barulah dikatakan jual beli yang sempurna dan insyaAllah mendapat keberkahan.

Karena kebaikan ataupun keburukan meski sebesar biji zarrah pun mendapat perhitungan di yaumul hisab kelak, seperti makna dari QS Yunus ayat 61. Muamalah adalah aktivitas yang intens dilakukan umat manusia, hendaknya aktivitas yang selalu kita lakukan itu diusahakan ada berkah Allah SWT didalamnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline