Lihat ke Halaman Asli

Merubah Rasa Sadar Rawan Menjadi Program

Diperbarui: 5 November 2022   16:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Mengubah Rasa Kerawanan Menjadi Program dimulai dengan mengupas Kerawanan untuk memperoleh kesadaran dan kebijakan optimal dalam bertindak.  Dengan mengupas menguliti gejala kerawanan kita bisa lebih baik mensikapinya. Sebab kerawanan memang belum suatu kejadian yang lengkap dapat ditangkap secara  nyata inderawi penuh seperti kekecewaan.(*) Maka perlu menangkapnya lebih cerdas.

Berfikir untuk berbicara apa lagi menulis sebaiknya berangkat dari kejadian nyata sebagai jaminan obyektivitas. Tentu tak ada tabunya mulai dari konsep-konsep prinsip, paradigma, ajaran agama dsb. Meskipun itupun dalam praktek memiliki kerawanan. Kerawanan adalah titik-titik kritis, dimana suatu arah hingga peristiwa berikutnya bisa tidak seperti yang diharapkan sebelumnya.

Seperti tulis Yth Kompasianer Zabidi Mutiullah menulis : "Menilik perjalanan, ada kesamaan dan perbedaan yang bisa dijadikan tolok ukur akan seperti apa nasib Nasdem dan PDIP kedepan. Baik ditinjau dari segi kelembagan maupun situasi yang saat ini sedang dihadapi" 

Sosiolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sujito, mengungkapkan bahwa saat ini sudah mulai muncul gejala pengulangan narasi politik berbasis kebencian seperti yang dipertontonkan pada 2 kali pilpres sebelumnya. 

Pembelahan sosial dengan konstruksi stereotype sebuah kelompok ini dilakukan menggunakan narasi agama, etnis, dan golongan sebagai komoditas politik dukung mendukung. "Di WhatsApp group, di timeline Facebook, di hampir semua media sosial bahkan di beberapa media mulai muncul narasi yang lagi-lagi basisnya adalah konstruksi stereotype. 

Umpat-umpatan, hate speech, hoax, mulai deras mengalir ke percakapan sehari-hari kita lewat online maupun offline," kata Arie kepada media di Yogya, Jumat (4/11).(Sosiolog UGM: Sudah Muncul Gejala Pengulangan Narasi Politik Berbasis Kebencian (msn.com)

Belum lama ini aku mendapat tamu seorang pria. Masuk rumahku tertatih-tatih dan tremor.Tetapi dia datang sendirian dan naik sepeda motor. Mengaku berusia 67 tahun.  Dan kondisi tremornya katanya kerena terakhir sakit gula darahnya diatas 500.

Aku sedikit saja tahu tentang dia tentang ayahnya dst. Tetapi dari jam 17.00 hingga jam 18.00 dia cerita bahwa dia dulu (1981) sering datang kerumahku. Saat itu dia sebagai juru warta dalam pelatihan. Selain itu dia sore itu mengkisahkan banyak sekali tentang keluarga dan kerabatnya, mungkin lengkap himgga nenek moyangnya yang masih berdarah biru. Semua dikisahkan dengan penuh semangat menggebu.

Adegan seperti itu seandaimya itu pada tahun 1975-1990, aku tahu cara menyikapinya. Aku harus segera memberikan amplop sesuai jenjang perkaderannya. Akan tetapi kebiasaan sikap itu (yang aku benci) sudah kutinggalkan dan kulupakan.

Semenjak tahun 1990 dst aku bergaul periodik bertemu dengan para petani yang lebih sederhana dan serba dalam kerawanan ekonomi dan kerawanan sosial sebagai golongan terpinggirkan apa lagi dalam mengambil keputusan dalam bermasyarakat. 

Tetapi mereka jujur, tulus siap berbagi antar warga dalam kondisinya yang  serba kekurangan dan kerawanan itu. Watak petani asli dimana-mana hampir sama, di Papua, Sumatra, Sulawesi Indonesia,  Thailand maupun Philipina.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline