Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Armand

TERVERIFIKASI

Universitas Sultan Hasanuddin

Ya Allah, Saya Kasihan Melihat Air-air Ini

Diperbarui: 23 Januari 2019   23:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Tiga hari, tiga malam. Makassar dihujani, diselingi badai-badai angin kencang. Semalam diviralkan, Bendungan Bili Bili di Kabupaten Gowa (Berbatasan langsung dengan Makassar), satu pintunya terpaksa dibuka. Itu pinta Bupati Gowa. Risikonya warga di radius terdekat bendungan, "rela" jadi korban demi Makassar tak tenggelam.

Bendungan itu memang tidak jebol! Itupun Makassar tetap meratap oleh "kehadiran" derasnya air hujan. Maka jadilah jalan-jalan raya sebagai sungai kedua.

Ya Allah, saya kasihan melihat air-air ini, mereka tak tau arah mana yang ditempuh agar tak mengorbankan manusia, menghanyutkan rumah-rumah warga, juga menenggelamkan anak-anak sekolah. Tetanggaku untuk masalah ini, memilih anak-anaknya untuk tidak bersekolah dua hari ini. Air memang tak bisa dilawan, air hanya bisa dikawani.

Kisahku di pagi tadi, melewati kawasan Daya, air telah menyapaku walau tak setinggi di kota, namun sudah membuatku was-was. Tetapi saya wajib sampai di Pusat Bahasa di Universitas Hasanuddin untuk post test IELTS Preparation.

Saya memang sukses menembus tujuan tetapi dosen-dosenku/instrukturku gagal masuk kampus karena rumahnya dikepung air, dan Jl. Sultan Alauddin sudah tak bisa lagi menopang pengendara oleh "aliran sungai baru" di jalan raya nan sangat padat itu.

Di Pintu Satu Unhas, tiga hari ini, luapan dua danau sudah menampakkan "kebolehannya" membuat pemobil, pemotor, dan pejalan terhalangi. Beberapa pohon juga sudah mulai goyah. Ranting-rantingnya berjatuhan sehingga saya putuskan untuk tidak memarkir kendaraan di kawasan perpohonan. Bahaya!

Makassar itu "kota kecil" tetapi kota ini kota hidup, dihuni Sungai Tello. Inipun meluap sehingga Jln. Perintis Kemerdekaan diblokir. Penutupan ini membuat pengendara-pengendara balik haluan, persoalan berikutnya saat balik haluan, sudah dihadang juga air di Jl.Pettarani (ke arah kota), dan dihadang air di Daya, depan STIMIK Dipanegara.

Ada yang lolos dengan kondisi mesin kendaraan sangat dipaksa membelah-belah air bah, tapi itu pun harus berhadapan lagi dengan gulungan air di depan AURI. Kendaraan bertumpuk karena space kian sempit untuk bergerak. Akhirnya, berputar-putar saja dan pulang balik di area yang sama.

Makassar memang sudah "Siaga 1", namun saya dan sewargaku di Makassar yang tercinta telah titipkan segalanya pada Sang Khalik, ini memang siklus iklim 20 (dua puluh) tahunan, kata salah seorang yang berseragam meteorologi dan geofisika yang kutemui tadi sore.

Di kotaku ini, siklus itu relatif permanen, rela tak rela, ia datang. Yang labil adalah daya bangun Makassar tergolong sangat pesat, telah sulit menemukan tanah-tanah yang luas dan lapang kecuali lapangan golf, lapangan udara, lapangan sepakbola atau semacamnya yang dibuat khusus.

Ruko-ruko di sini, beranak-pinak sampai ke sudut-sudut sempit. Hadir pula dua mall yang gedungnya "berciuman" dengan jalan utama atau jalan provinsi. Prinsip-prinsip sederhanaku ialah bukan zaman lagi salah-menyalahkan, semua ini kesalahan kolektif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline