Lihat ke Halaman Asli

Posisi Masyarakat Hindu dalam UU Cagar Budaya

Diperbarui: 21 Maret 2017   10:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lingga duplikat di Situs Gumuk Payung | DOKPRI

Saya baru membaca laporan tentang rusaknya Situs Gumuk Payung itu kemarin (20/3/2017) setelah didisposisi oleh atasan. Laporan diajukan oleh tiga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang intinya tidak terima atas pengerusakan atau pemugaran atas situs yang berada di Kecamatan Sempu tersebut. Sebenarnya mengenai kasus ini sudah pernah dilakukan pertemuan guna mendapatkan titik temu dan memang di antara pihak yang berkepentingan sudah mencapai kesepakatan. Namun sayang kesepakatan yang sudah dibuat masih jalan di tempat.

Sebenarnya ini bukan kasus yang pertama karena kasus serupa juga pernah terjadi di Situs Penanggungan. Ketika itu (Agustus 2015), ada seorang oknum masyarakat dari Bali yang membangun candi di kawasan situs tanpa seizin pihak terkait (dalam hal ini Gubernur Jawa Timur) karena Situs Penanggungan sudah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Provinsi. Belajar dari kedua kasus di atas, kiranya saya dalam hal ini perlu untuk memberikan pemahaman yang benartentang posisi umat Hindu dalam pengelolaan cagar budaya sesuai denganundang-undang Nomor 11 tahun 2010.

Berdasarkan undang-undang Nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya sebenarnya semua sudah diatur dengan jelas, meskipun istilah “umat/orang/masyarakat Hindu” tidak disebutkan secara gamblang. Umat Hindu wajib memelihara cagar budaya karena pasal 75  ayat (1) dan pasal 76 menyebutkan bahwa setiap orang wajib memelihara cagar budaya yang dimiliki dan/atau dikuasainya. Pemeliharaan dilakukan dengan cara merawat cagar budaya untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan akibat pengaruh alam dan/atau perbuatan manusia. Pemeliharaan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di lokasi asli atau tempat lain, setelah lebih dahulu didokumentasikan secara lengkap.

Perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pembersihan, pengawetan, dan perbaikan atas kerusakan dengan memperhatikan keaslian bentuk, tata letak, gaya, bahan, dan/atau teknologi cagar budaya.

Lebih lanjut, masyarakat Hindu boleh memanfaatkan cagar budaya karena di dalam pasal 85 disebutkan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan setiap orang dapat memanfaatkan cagar budaya untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata. Pasal 87 menyebutkan, cagar budaya yang pada saat ditemukan sudah tidak berfungsi seperti semula dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Pemanfaatan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan izin pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan peringkat cagar budaya dan/atau masyarakat hukum adat yang memiliki dan/atau menguasainya.

Namun, masyarakat Hindu hendanya juga harus selalu mengingat pasal 86 yang menyatakan, pemanfaatan yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan wajib didahului dengan kajian, penelitian, dan/atau analisis mengenai dampak lingkungan!!.

Imbas dari sikap "semau gue" seperti kasus di atas adalah sering terjadinya aktivitas vandalisme, baik yang disengaja maupun dengan alasan pemugaran atau perbaikan suatu bangunan bersejarah. Vandalisme dalam konteks arkeologi dimaknai sebagai aktivitas penambahan, penghapusan, atau pengubahan isi dan esensi dari suatu bangunan  atau tinggalan arkeologis. Aktivitas tersebut sebagai bukti betapa rendahnya kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap benda cagar budaya.

Maukah?

Ada anekdot, apakah hidup kita bergantung kepada siapa presidennya, siapa gubernurnya, siapa bupati/wali kotanya? Sudah, ndak usah néka-néka. Terus terang saja bahwa hidup kita sangat tergantung pada lampu merah. Sětopan atau lampu bang jo kalau istilah lainnya.

Banyak orang ngamuk gara-gara pacarnya terlambat. Padahal, niat ingsun-nya ndak telat. Tetapi, gara-gara lampu bang jo ngadhat, atau nyala lampu merah terlalu lama dibanding hijaunya, bubar mawut suatu janji sir-siran.

Itu ndak hanya berlaku di traffic light padat merayap dalam kota. Ada juga, jauh di luar kota yang lampu bang jo-nya bikin macet. Soalnya di situ wira-wir ibus-bus rombongan pariwisata, truk gandeng, trailer, sampai tronton. Lampu sudah hijau, sudah boleh lewat, eh, masih ada ekor truk gandeng yang mbegegeg nanggung di perempatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline