Lihat ke Halaman Asli

Ular di Kaki Haji Wardan

Diperbarui: 1 April 2017   09:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

AK Basuki

Haji Wardan merasa salat dan zikirnya tidak lagi khusyuk. Terlalu banyak urusan duniawi yang membuatnya gagal tenggelam dalam laku ibadat sejati. Usaha dagang yang semakin besar memaksanya selalu sibuk sedang orang tua yang alim itu sangat ingin meningkatkan kadar keimanannya hingga mencapai tingkatan tertinggi yang bisa dicapai manusia di mata Tuhan sebelum mati. Dia membutuhkan sebuah tempat yang tenang di mana hanya akan ada dirinya dan Tuhan.

Keinginan menggebu untuk hijrah sementara waktu dan mencicipi rasanya menjadi zuhud itu pun segera diwujudkan. Dibangunnya sebuah pondok berdinding anyaman bambu dan beratap rumbia, jauh di dalam hutan. Selesai dalam dua hari, lewat orang-orang suruhan yang bekerja membangun pondok itu dia menitipkan pesan untuk keluarganya, “Jika masih ada umur, aku pulang sebulan lagi. Tak boleh ada yang datang menengok atau mengirim keperluan hidupku. Di sini hanya akan ada aku dan Tuhanku.”

Di sanalah Haji Wardan melepas segala laku duniawinya untuk asyik berkomunikasi batin dengan Tuhan. Apa yang dilakukan hanyalah salat dan zikir. Tidur cuma seperlunya. Untuk keperluan hidupnya, dia akan pergi ke sungai, menjelajah hutan untuk memetik buah-buahan liar atau menggali umbi-umbian.

Semua berjalan lancar sampai pada malam yang kesepuluh, saat seekor ular belang tiba-tiba muncul dari balik sajadah ketika dirinya tengah berzikir. Sigap dia meraih sebelah selop. Namun niat untuk memukul kepala tamunya itu urung ketika si ular berteriak, “Jangan!”

Lebih karena terpesona daripada takut, Haji Wardan melepaskan selop dari tangannya dan bertanya takjub, “Kau ini apa?”

“Ular.”

“Ular apakah yang berbicara seperti manusia? Kau pasti iblis yang berniat mengganggu ibadahku!”

“Jangan gegabah. Entah iblis entah siapa, kau tidak boleh seenaknya menuduh hanya dengan prasangkamu.”

Haji Wardan segera beristigfar menyadari kebenaran kata-kata ular itu. Selop di tangan diletakkan kembali. Katanya, “Maaf, mahluk sejenismu telah jadi gambaran sempurna tentang sosok iblis yang kutahu sejak manusia pertama jatuh ke dalam muslihatnya. Jadi, jangan salahkan aku.”

“Lidah ular memang bercabang, itulah yang membuat manusia seenaknya menuduh bangsa ular sebagai mahluk khianat. Tapi bukankah tubuh yang lurus memanjang ini justru adalah sebuah gambaran keesaan Tuhan, jika kau mau menyadarinya?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline