Lihat ke Halaman Asli

Arip Imawan

Arip seorang Lawyer, Blogger, Traveler

Aroma Pesantren di Tubuh PKS

Diperbarui: 22 Maret 2019   20:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi santri | sumber: nu.or.id

Sengaja saya tulis ini karena saya tergerak ingin meluruskan informasi yang berkembang jika PKS itu partai radikal, partainya wahabi, partai yang melarang tahlilan dan seabrek cap lainnya yang disematkan pada partai yang banyak dihuni para cendekiawan muslim ini.

Saya ingin membuktikan bahwa cap buruk yang disetempelkan pada PKS sebetulnya tidaklah benar, dan justru sebaliknya PKS mirip seperti pesantren, koq bisa? karena kurang lebih 19 tahun saya mengamati dan meneliti gerak gerik partai yang ternyata banyak dihuni para santri dan habaib dzurriyah nabi.

SAYA DAN PESANTREN
Saya dilahirkan oleh keluarga nahdliyin, bapak saya aktif dijamaah yasinan, emak saya aktif di muslimatan, bahkan mereka berdua juga sering ziarah kemakam para wali, begitu juga mbah saya juga aktif di jamaah manaqiban

Sejak kecil saya aktif di masjid dan jadi remas Al-Muhtar, sekolah diniyah di Thorikul Huda tiap malam dan tidak pulang karena yang kami lakukan bersama teman-teman remas adalah ngaji, deres/tadarusan, hafalan si'ir ngudi susilo, si'ir mitro sejati, dan juga barzanji hingga bareng-bereng tidur dimasjid, bakda subuh baru pulang kerumah

Beranjak anak-anak saya keluar masuk pesantren salaf, waktu itu belum banyak berlaku ijazah seperti saat ini, yang penting ngaji mengharap ridho dan barokah kiai. Mulai dari pesantren Mambaul Huda yang dulu diasuh almarhum kiai Marjuni Said yang panggilannya mbah Mar di dusun Duren/Sumberduren. Pelajaran yang saya dapat waktu itu fasholatan, mabadi fikih, khulashoh nurul yakin, hadits syarifah dan lain-lain. 

Sepeninggal kiai Marjuni, atas rekomendasi kang Yatiman waktu itu, saya pindah ngaji ke Ponpes Al-Ihklas di Kaliboto walaupun sebentar, saya bersyukur di Al-Ihklas saya mengenal jurumiyah, aqidatul awam dan kitab-kitab lainnya

Waktu terus bergerak, tibalah saya berhijrah kedaerah Tuban, sebuah daerah dengan jargon bumi wali, di desa Punggulrejo Rengel Tuban saya mengaji langsung pada kiai Mubarok Khudlori. 

Saat itu ngaji tiap bakda subuh diserambi masjid, karena sehari-harinya kiai Barok ngajar di Ponpes Langitan Tuban. Ketika santri sudah banyak kiai Barok bangun pesantren disebelah utara masjid yang diberi nama Al-Falah, dan waktu pemasangan batu pertama kami santri-santrinya melekan hingga pagi hari sambil wiridan dzikir.

Di Al-Falah inilah berbagai macam kitab kuning klasik saya belajar, diantaranya amtsilah tashrifiyah, mustholah hadits, fathul qorib, taklim mutaalim, nashoihul ibad dan kitab lainnya.

Di Madarasah Diniyah maupun Pesantren diajarkan tentang sami'na wa atho'na, mengabdi, melayani kiai, dan ngalap berkah itulah khas pesantren sejak dahulu hingga sekarang.

Tak heran jika kita jumpai santri-santri pesantren adalah sosok yang andap ashor dan berahklaqul karimah serta memiliki jiwa tasawuf yang tinggi karena selama dipesantren dididik kiai dalam mengolah batin, mengolah raga, dan mengolah rasa. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline