Lihat ke Halaman Asli

Membedah Wajah Pendidikan Indonesia

Diperbarui: 27 Oktober 2022   15:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Ilustrasi: Dok. STAI-PIQ

Pada 1 Juni 1945, Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) telah sampai pada hari terakhir dari rapat pertamanya. Pada saat itu, Presiden Soekarno memberikan sebuah pernyataan yang sangat menarik. 

Soekarno mengatakan "Bahwa kemerdekaan atau "Political Independence" ialah satu jembatan emas. Dan di seberang jembatan itulah kita akan menyempurnakan masyarakat kita."

Pada dasarnya, bila bangsa Indonesia ingin sejahtera, maka bangsa Indonesia harus merdeka dulu. Pendapat yang sama juga diutarakan oleh tokoh nasional Tan Malaka dalam bukunya yang berjudul Madilog.

Guru sekaligus tokoh revolusioner ini berkata "Kini setelah 75 tahun Indonesia merdeka, apakah kita sudah menggunakan jembatan emas ini dengan benar? Apakah ilmu-ilmu dari alam sudah bebas dari berlenggunya. Bagaimanakah nasib Indonesia? Khususnya, dalam pendidikan?"

Berdasarkan data World Bank, mengenai "Net Enrollment Rate" Indonesia, partisipasi pendidikan di Indonesia bisa dikatakan sangat tinggi. Meskipun demikian, Indonesia juga menempati peringkat yang sangat rendah dalam hal membaca, matematika dan Sains. Bahkan, dalam keadilan gender pun kita tidak terlalu baik. 

Pendidikan di Indonesia memiliki permasalahan yang sangat kompleks. Kita tidak bisa membahas semuanya dalam tulisan singkat ini. Namun, pemikiran akan pendidikan yang ideal memang sudah dirancang jauh sebelum kemerdekaan Indonesia.

Tan Malaka mengganggap pendidikan adalah sebagai alat untuk bertahan hidup, sejahtera dan membantu kaum jelata. Idealnya, pendidikan harus membuat masyarakat mampu menghadapi kenyataan dengan berpikir secara logis dan tidak mengandalkan hal-hal mistis seperti ritual sesat dan perdukunan.

Ilmu alam dan matematika memang harus dikuasai. Namun, tentu tidak semua anak memiliki kompetensi yang sama. Di sinilah Ki Hajar Dewantara dengan sistem pendidikan "Among" hadir. 

Sistem ini, mengedepankan unsur-unsur pembelajaran, keterampilan, dan nilai-nilai tradisional yang mengasah keterampilan yang diminati sang anak. Masing-masing anak tidak diwajibkan untuk memahami dan mendalami seluruh mata pelajaran. Sedangkan Kartini yang merupakan tokoh emansipasi perempuan memiliki semangat bahwa pendidikan harus bisa didapatkan secara setara oleh kaum pria maupun wanita. 

Lalu, mengapa impian dan idealisme dari ketiga tokoh ini masih terhambat? Ada banyak faktor, pada masa mempertahankan kemerdekaan, Indonesia masih kekurangan guru yang kompeten, stabilitas Indonesia sudah terancam oleh perpecahan dan Perang Dingin yang berkecamuk. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline