Lihat ke Halaman Asli

Arief Sani

mahasiswa

Maraknya Anak KEcil yang Menjadi Pengemis

Diperbarui: 4 Mei 2024   13:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

MARAKNYA ANAK KECIL YANG MENJADI TUKANG MINTA -- MINTA (PENGEMIS)

 

"kasila bang seribu aja, belum makan aku"

Begitu ucapan dari seorang anak yang seharusnya menikmati waktu malamnya besantai di rumah dengan keluarganya tetapi dikesampingkan karena harus membantu memenuhi kebutuhan keluarga dengan mengemis. Mereka mendatangi meja -- meja caf berharap ada yang memberi pecahan seribu dua ribu untuk di bawa pulang ke rumah.  Yang menjadi perhatian saya adalah waktu kerja mereka yang sangat larut hingga pukul 12 malam bahkan lebih.

Bahkan ada juga pengemis dengan modus menyewa anak kecil sebagai umpan untuk meminta -- minta dengan memberikan obat tidur agar mengahrap kasihan orang lain memberi bantuan seolah -- olah anak itu sakit.

Miris, dalam artian apakah ini memang kemauan mereka atau kah adanya paksaan yang di tujukan kemereka untuk mengemis? Peranan orang tua dalam melindungi anak agar terhindar dari bahaya sangat tidak terlihat dalam hal ini

Pengemis menurut pemerintah adalah sekolompok orang terlantar yang di lahirkan atas variabel yang mereka sebut kemiskinan dan bertahan dengan mengharap belas kasihan orang lain.

Yang menjadi pertayaan dari saya adalah Dimana peranan Dinas sosial, Dinas Pendidikan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan juga pemerintah daerah terkhusus kota TANJUNGBALAI dalam menangani hal tersebut. Dimana kepedulian pemerintah daerah terhadap anak -- anak kecil ini mengapa mereka di biarkan merasakan hal yang tidak seharusnya mereka rasakan di umur mereka sekarang? Ataukah memang tidak adanya kepedulian untuk hal itu?

Paksi (2006) mengungkap motivasi non ekonomi pengemis melekat dalam struktur dan budaya masyarakat. Sebagian besar para pengemis menjadikan aktifitas "mengemis" sebagai satu-satunya mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Meski di antara pengemis telah memiliki rumah dan tabungan, penelitian Paksi (2006) membuktikan bahwa aktifitas mengemis dalam hal ini tidak disebabkan oleh faktor tunggal bernama ekonomi, namun mental masyarakat yang memang menjadikan "mengemis" sebagai tulang punggung kehidupan.

Mental mengemis itu sendiri bukan tiba-tiba muncul dari situasi kondisi masyarakat yang tanpa nilai. Mental mengemis dibentuk oleh budaya, yang disosialisasikan secara terus menerus dalam struktur masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline