Lihat ke Halaman Asli

Susi Diah Hardaniati

IBU DARI SEORANG ANAK LELAKI YANG MEMBANGGAKAN

Fiksicinta - Hari Ini Istimewa Bagiku

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini istimewa bagiku. Hari peringatan kematianku. Hari di mana seharusnya orang tua Kang Kardi datang untuk melamarku.

Tapi rencana tinggal rencana. Pagi itu, lindu meluluhlantakkan kampung kami, rumah kami, beserta aku di dalamnya.

Bapak dan Simbok berduka. Warno, adikku, berduka. Kang Kardi juga berduka, tapi kemudian aku melihat dia menikah dengan Paini, teman sepermainanku.

Simbok jadi sering menangis di pawon. Mungkin karena itu pawon tempatku minum teh ketika lindu itu terjadi, dibongkar dan dipindah ke sisi rumah yang lain. Para pekerja berseliweran mengangkut kayu dan batu, tidak menyadari aku ada di antara mereka. "Jangan! Jangan dibongkar!" seruku, tapi tak ada yang mendengar. Pawon itu tempat kesukaanku melewatkan waktu di pagi hari sebelum matahari terbit, sebelum aku menjerang air di atas tungku dan menyapu pekarangan. Tapi ketika kuingat air mata Simbok, hatiku luluh. Sama seperti Bapak, aku juga ingin Simbok berhenti menangisi aku.

Bagi keluargaku, aku menjadi sumber kesedihan yang dalam, yang kemudian menyusut menjadi kenangan. Hidup berjalan terus tanpa bisa kucegah, dan aku tak bisa lagi menjadi bagian darinya.

Aku menyaksikan tahun-tahun melewati rumah kami, peninggalan Simbah untuk Bapak. Aku menyaksikan Warno tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang tampan, lalu berkeluarga dan beranak-cucu. Aku menyaksikan Bapak dan Simbok beranjak tua, lalu akhirnya meninggal. Rasanya tak adil. Entah bagaimana, mereka begitu saja masuk ke alam baka. Meninggalkan aku sendirian di rumah kami.

Rumah kami pun berubah. Cucu Warno merombak rumah kami hingga aku tak akan bisa mengenalinya lagi seandainya tidak "tinggal" di sini. Dinding gedhek sudah tidak ada lagi. Lantainya berubin licin. Jendela berdaun kayu diganti jendela kaca bertirai. Pawon lama tempatku minum teh ketika hari naas itu terjadi, menjadi kamar tidur.

Aku mendengar dia menyebut-nyebut "tempat kos". Lalu datanglah beberapa laki-laki asing ke dalam rumah kami. Mereka adalah orang-orang yang bekerja di kota yang letaknya tidak jauh dari kampung kami. Mereka menyewa kamar-kamar di rumah kami. Ada yang menempati bekas kamar Bapak dan Simbok. Ada yang menempati kamar Warno. Ada yang menempati kamarku.

Kamar terakhir, kamar yang dulunya adalah pawonku, ditempati oleh Supardi. Aku memanggilnya Kang Pardi, walaupun dia tak tahu. Kemiripannya dengan Kang Kardi membuatku berdebar-debar, seandainya jantungku masih ada denyutnya. Senyumnya adalah senyum Kang Kardi, senyum tipis yang tak pernah sampai menampakkkan gigi. Pandangan matanya kadang teduh, kadang tajam, kadang berbinar ceria cenderung usil. Tubuhnya liat dengan kulit kecoklatan, tubuh laki-laki yang terbiasa bekerja di udara terbuka.

Satu lagi yang membuat Kang Pardi istimewa bagiku: dia juga suka menikmati segelas teh hangat menjelang fajar, seperti aku dulu. Segelas teh hangat yang mengawali hari, sebelum Kang Pardi beranjak ke dunianya yang sibuk, dunia yang tidak pernah bisa aku pahami.

"Sugeng enjang, Kang. Pagi ini indah sekali, ya," bisikku di telinganya setiap pagi, ketika kami berdua berdiri berdampingan di ambang pintu memandangi langit yang pelan-pelan berubah warna. Memandangi kabut yang pelan-pelan terangkat dari tanah. Mendengarkan suara-suara alam yang mulai terjaga. Begitu damai, hampir-hampir suci, sehingga aku tak berani berkata keras-keras walaupun Kang Pardi takkan mendengar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline