Lihat ke Halaman Asli

Ardian Nugroho

Menulis dan memotret menjadi cara saya untuk berbagi kesenangan dan keindahan alam dan budaya negeri.

Tato Kini Tak Lagi Sangar

Diperbarui: 4 Juni 2019   17:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar sketsa Abbey yang akan diubah menjadi tato di tangan Pringgo. (Dokumentasi pribadi)

Suara dinamo berdesing memenuhi ruangan. Sebuah jarum merajam kulit ari di tangan memaksa tinta merah masuk ke dalam kulit. Pringgo (33) meringis sembari menahan perih. Darah segar mengucur bercampur dengan tinta merah di sepanjang garis di mana jarum merajam.

Dengan teliti, Hudha menindih sketsa yang sudah dibuat sebelumnya dengan rajah tubuh permanen. Dan pada rajah tubuh itu lah tersimpan ingatan yang kelak akan menjadi kenangan di masa depan.

Hudha menyeka campuran darah dan tinta lalu kembali merajam kulit. Selesai dengan satu gambar, ia berpindah pada gambar selanjutnya. Pringgo masih saja meringis, tapi menikmati ketika jarum menusuk kulit. Saya pun meringis sambil membayangkan rasa perihnya, lalu tersenyum ketika melihat gambar tato tersebut.

Pringgo menahan perih ketika Hudha mulai merajam kulitnya dengan alat tato. (Dokumentasi pribadi.)

Tato biasanya identik dengan gambar yang garang seperti tengkorak, simbol atau binatang buas. Bisa juga berupa tulisan nama atau kutipan. Tapi tato kali ini berbeda. Gambar-gambar tersebut adalah karya Abbey, anak Pringgo. "Ini gambar anakku," ucapnya.

Budaya Tato

Kata tato sendiri disinyalir berasal dari kata tatau dalam bahasa Tahiti. Budaya menorehkan rajah di tubuh ini sudah berkembang sangat lama dan telah berkembang ke seluruh penjuru dunia.

Menurut Ady Rosa (48), dosen Seni Rupa dari Negeri Padang, Sumatra Barat, tradisi tato tertua di dunia dimiliki oleh orang Mentawai. Bahkan lebih tua dari tato Mesir yang ditemukan pada tubuh mumi dari abad ke 20SM.

Setiap daerah memaknai tato sebagai identitas jati diri. Sebuah tato bisa digunakan untuk membedakan status atau profesi seseorang. Tato juga bisa sebagai media untuk merekam cerita yang tak ingin mereka lupakan. Mirip seperti tato milik Pringgo.

Hudha dengan hati-hati mengubah sketsa yang ia buat sebelumnya menjadi tato permanen. (Dokumentasi pribadi)

Proses penorehan tato pada masa itu tak lebih sakit daripada sekarang. Seorang dukun tato menggunakan jarum yang dikaitkan pada setangkai kayu. Tangkai kayu tersebut lalu dipukul pelan-pelan dengan kayu guna memasukkan warna pada kulit. Pewarna yang digunakan menggunakan bahan alami seperti daun atau arang.

Stigma Tato

Tato selalu diidentikkan dengan para pelaku kejahatan. Stigma negatif ini berkembang bukan tanpa alasan. Banyak dari para pelaku kriminal menghiasi tubuhnya dengan tato. Setidaknya itu lah gambaran yang kerap dipertontonkan dalam berita kriminal di televisi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline