Lihat ke Halaman Asli

Ardanmarua

Warga Negara Indonesia

Hujan, Anak Penjual Gorengan, dan Pasukan Langit

Diperbarui: 14 September 2019   14:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pasukan langit berseragam oranye|dokpri

"Jangan marah dengan hujan; ia tidak tahu bagaimana jatuh ke atas." -Vladimir Nabokov.

Makassar, 10 Agustus 2019, di suatu kedai kopi dan dalam suasana sore hari penuh hangat, saat itu hujan sedang menari di bawah langit, seorang anak kecil penjual gorengan keliling tiba-tiba menghampiri saya dan mengatakan dirinya ingin duduk di kursi sebelah tempat saya duduk. Kami tidak saling kenal, ia datang hanya untuk berlindung dari hujan yang sedang deras-derasnya mengguyur bumi.

"Maaf kak, bisa saya duduk di sini?," tanya anak itu dengan wajah malu-malu sambil jari tangannya menunjuk ke bangku yang berada di samping tempat saya duduk. 

"Iya. Silakan, dek," jawab saya, sembari tangan saya menyodorkan padanya kursi yang ia minta. Saat ia beranjak duduk, dari kantong celananya terdengar bunyi uang recehan saling berbenturan, hal itu menandakan bahwa gorengan jualannya itu belum banyak terjual.

Kondisinya nyaris memunculkan rasa iba dalam diri saya padannya, tapi saya sadar tak seorang di dunia ini yang senang menerima rasa iba dari orang lain, kecuali orang yang merasa dirinya hina. 

Toh, yang membawanya ke samping saya adalah bukan karena ia lupa membawa payung, tapi dirinya yang tidak pandai membaca gerak-gerik alam, dan inilah kesamaan kami berdua.

Kebetulan saat itu saya sedang mengerjakan tugas kuliah, jadi saya lebih berfokus pada apa yang mesti saya selesaikan. Itu membuat saya hampir tidak menyapa anak itu sekali pun. 

Alih-alih berusaha untuk membuatnya merasa lebih dekat dengan sosok laki-laki yang berada di sampingnya itu bukanlah orang lain melainkan kakak laki-lakinya sendiri, menanyakan namanya saja pun tak saya lalukan. Selama duduk, ia pun hanya diam dan sesekali tangannya merapikan dagangan jualan miliknya.

Kenda demikian, antara saya dan anak itu beberapa kali saling bertukar senyuman. Bibirnya kecil dan rias wajahnya beraura penuh semangat. Saya pikir, senyum adalah bahasa paling sederhana untuk mengungkapkan rasa peduli, bukan iba, dan penghormatan terhadap sesama.

Meskipun keberadaannya di samping saya nyaris terabaikan, tapi melaluinya saya menyadari satu hal; bahwa nikmat yang sama dari Tuhan selalu diterima dan syukuri manusia dengan cara yang berbeda-beda. Nikmat yang saya maksud di sini adalah hujan. Kebetulan sebab hadirnya anak itu di samping saya adalah hujan sedang melakukan apa yang ingin dilakukan: Jatuh, jatuh, dan jatuh membumi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline