Lihat ke Halaman Asli

Kenapa Aku Belum Mati

Diperbarui: 12 Maret 2016   20:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang bilang, mati itu rahasia Illahi. Aku mencibir dengan mengambil pisau lalu kusematkan di nadi. Darah menetes membasahi karpet hingga berbau anyir. Pandanganku buyar, lututku gemulai hingga tak sanggup menopang tubuh mungilku untuk berdiri. Kamarku perlahan dikepung oleh gelap yang berakar dari sudut ruangan hingga menelannya bula-bulat. Suara perlahan teredam, segala bising dan hingar bingar ditelan kesunyian malam.

Aku mati.

Mataku membuka perlahan berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya. Kantong infus tergantung di udara. Bau obat menusuk hidungku yang mulai kembali peka. Banyak suara orang berbincang di luar ruangan. Rasa nyeri mulai menjalar dari pergelangan tangan kiri, menandakan syaraf-syaraf yang mulai aktif berfungsi.

Aku gagal mati.

Mereka bilang aku boleh pulang. Baguslah. Setidaknya di rumah tidak ada manusia-manusia berjas putih berlagak sok tahu soal kehidupan dengan penuh untaian kalimat penyemangat yang bagiku hanyalah rangkain kata-kata brosur pinggiran jalan. Biarkan aku pulang sendiri. Biarkan aku bergegas ke dalam kamar yang kali ini akan kukunci.

Biarkan aku mati.

Beberapa sahabat sudah menungguku di depan pintu kamar. Tangan-tangan terulur membantu aku yang tergopoh-gopoh berjalan ke luar. Kututup telinga dari suara-suara penyemangat, kuhindarkan mata dari tatapan iba. Aku tidak butuh mereka. Aku hanya ingin pulang ke kamarku secepatnya.

Agar aku bisa mati dengan segera.

 Aku melihat sebuah sosok mungil menungguku di pintu depan rumah. Sosok itu duduk di bangku teras depan dengan kaki menggantung, terlalu pendek untuk menginjak tanah. Matanya penuh harap menantikan kedatanganku. Aku berjalan mendekat. Sosok itu melompat berdiri lalu menghambur ke pelukanku sambil menjeritkan rindu. Aku terpaku.

 Tuhan, kumohon.. Cabutlah nyawaku.

Si mungil mendongakkan kepala. Wajahnya basah oleh air mata. Replika mini dari wajah yang kukenal bahkan jauh sebelum anak ini ada. Wajah dengan hiasan keringat dan aroma alkohol menyengat. Wajah yang berjarak beberapa inci dari wajah berlukiskan darah dan memar biru milikku yang tergambar jelas dalam memori. Wajah dari laki-laki yang hanya peduli dengan nafsunya sendiri. Wajah yang telah lama pergi namun meninggalkan wajah pengganti yang menghatui setiap hari.

 

Lebih baik aku mati.

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline