Lihat ke Halaman Asli

D. Wibhyanto

TERVERIFIKASI

Penulis Bidang Sastra, Sosial dan Budaya

Aku Ingin Centang Biru Kompasiana, Seperti pada Dinding Mereka

Diperbarui: 11 Juli 2023   08:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi aku ingin centang biru (screenshot/wibhyanto)

Aku ingin Centang Biru Kompasiana, Seperti pada Dinding Mereka 

Hari ini, 10 Juli 2023, tepat Tiga Bulan usia dinding Kompasianaku! Tanpa tepuk tangan dan kue, gorengan atau apa. Kompasianaku berulang bulan. lalu apa? Make Your Wish: "Aku Ingin Centang Biru Kompasiana, Seperti pada Dinding Mereka"

Aku ingin Centang Biru Kompasiana, seperti terpateri pada dinding mereka, para jawara penulis tangguh Kompasiana itu. Pikirku waktu nun di kala itu, 10 April 2023, ketika kumulai satu langkah  awal bergabung di Kompasiana.

Aku melihat Centang Biru mirip seperti bendera yang berkibar di puncak bukit, dikelilingi orang-orang yang melonjak-lonjak di sekitarnya. Setidaknya itu yang sempat kubayangkan pada waktu itu, sementara posisiku masih di rerumputan landai, di kaki bukit itu. Dikelilingi semak belukar penuh iklan. 

Aku harus mulai melangkah, berjalan mendaki bukit itu, dan semoga kelak sampai di puncak, meraih bendera Centang Biru yang berkibar kibar, bagai nyiur melambai, di atas bukit jauh di atas sana itu. Begitulah pikiran dan bayanganku, nun di kala itu.

Bagiku, Centang Biru bukan sekadar tanda bendera berkibar di puncak bukit, tetapi lebih tampak sebagai titik pencapaian, atau sebuah perhentian, atau semacam tempat waktu menjeda, saat menghela napas usai sebuah pendakian, perjuangan berdarah darah, penuh onak berduri iklan dan iklan lagi, jebakan betmen juga dimana-mana. Begitu pikirku, nun di kala itu.

Aku ingin Centang Biru itu, untuk menghiasi dinding ku, bukan untuk mengikuti gerakan ikut ikutan, tidak. Aku mau menandai dindingku dengan centang biru, sebagai sebuah perhentian yang layak untuk dirayakan, secara diam diam. Begitu pikirku, nun di kala itu.

Aku suka Centang Biru, seperti tampak terpateri pada dinding para penulis handal itu. Birunya menggores tegas pada titik akhir sebuah nama, dimana ujungnya menggurat lancip ke atas bagai kilat. Itu Centang Biru yang keren, pikirku di nun kala itu.

Dari rerumputan kaki bukit itu aku melihat ke atas, tampak di puncak bukit Centang Biru, sekumpulan orang-orang seperti berjingkrak menari menari, mengitari bendera centang biru. Sebagian di antara mereka tampak duduk-duduk saja, sambil menyeruput kopi sepertinya.

Ya, Centang Biru adalah puncak bukit pencapaian yang patut dirayakan, tidak penting bagaimana musti merayakan. Walau mungkin itu hanya bersama segelas kopi, tak mengapa. Sebab di puncak bukit Centang Biru, semua orang sepertinya berpikir bukan tentang langkah artikel apalagi yang musti ditulis lagi ke depan. Bukan itu. Tetapi marilah merayakan Centang Biru kita masing-masing. Begitulah barangkali pikiran mereka, orang-orang di atas bukit sana itu. Begitulah pikiran dan bayanganku, nun di kala itu.

Aku ingin Centang Biru Kompasiana, tetapi bagaimana memperolehnya?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline