Lihat ke Halaman Asli

Mina Apratima Nour

:: Pluviophile & Petrichor ::

31 Januari 2020

Diperbarui: 4 Februari 2020   11:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(image: pixabayphoto.co)

Renjana, kau sesap penuh nektar dari kuncup-kuncup semara. Berhiaskan gelora, habis tak bersisa. Saujana mata kini tandus. Ranggas kau kuras semua yang tersisa. Tapi lembah surgawi menolak mati, Renjana. Masih menunggu rinai suburkan kembali, meski kau memilih pergi.

Degup detak termengah-mengah. Setelah usai, luka masih menganga tanpa darah. Rasanya baru kemarin, senyum pada rona menghias sekian dahina. Rasanya baru kemarin, sapaan rindu seiring arunika yang pertama. Mereka bilang sejalan waktu segala akan sembuh. Yang aku tahu, ia juga akan membunuh. Kau tumpas yang telah tumbuh. Kau bunuh rasa dengan segenap sungguh. Datangmu tiada sangka. Pergimu tiada banding. Kau buat aku runtuh dengan meluruh penuh.

Menguar aroma harum tubuhmu menuju senja. Temani aku dengan sebatang rokok dan secangkir dusta. Kusembunyikan kau dalam tiap aksara. Kuhidupkan kau dengan setubuh puisi nan candala. Kelak suatu hari kau baca, ingatlah hari ini. Hari kau resmi abadi, dalam tiap puisi.

Kali ini, kukutip penuh ucapmu di sore itu:
"Aku masih akan selalu sayang kamu, Renjana." 

- Jakarta, 31 Januari 2020 -




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline