Lihat ke Halaman Asli

Annisa Salsabilla

Mahasiswa di UNIDA Gontor

Kebijakan dan Diplomasi Muawiyah bin Abu Sofyan sebagai Penggagas Sistem Monarki dalam Kepemimpinan Islam

Diperbarui: 30 Agustus 2022   12:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

finansialku.com

Oleh: Annisa Salsabilla

Muawiyah bin Abu Sufyan (602 – 680; umur 77–78 tahun) atau Muawiyah I adalah khalifah yang berkuasa pada tahun 661 sampai 680. Dia merupakan salah satu sahabat Nabi dan juga merupakan saudara tiri dari Ummu Habibah Ramlah, istri Nabi Muhammad. Meski 'Utsman bin 'Affan yang sebenarnya merupakan khalifah pertama dari Bani Umayyah, Mu'awiyah adalah khalifah yang menjadikan Umayyah sebagai dinasti di kekhalifahan. Mu'awiyah merupakan khalifah pertama dari Bani Umayyah yang berasal dari garis Sufyani, sebutan untuk keturunan Abu Sufyan bin Harb.

 Mu'awiyah memulai karier politiknya sebagai penguasa setelah ditunjuk menjadi Gubernur Syria pada 639 oleh Khalifah 'Umar bin Khattab Pada masanya, Mu'awiyah melakukan berbagai upaya penaklukan. Pengepungan Konstantinopel, dan pada masanya merupakan upaya penaklukan pertama Konstantinopel oleh umat Muslim. Dalam bidang pemerintahan, Mu'awiyah lebih mengedepankan kecakapan dan kesetiaan daripada sistem kebangsawanan lama. Secara kepribadian, Mu'awiyah juga termasuk Muslim yang saleh dan menjaga ibadahnya meski dia menanggung beban memimpin kekhalifahan yang wilayahnya sudah sangat luas. Setelah Muawiyah membuktikan kekuatannya atas dua peristiwa sebelumnya, Umar mengangkatnya sebagai Gubernur Yordania pada 17 H. Dalam mengatur dan menguatkan kedaulatan pemerintahan, Muawiyah melakukan beberapa Strategi di antaranya:

1. Meminta Pengakuan dari para pengikut Hasan bin Ali Setelah resminya Muawiyah menjadi pucuk pimpinan, agar mulusnya program pemerintahan adalah mutlak bagi bawahan wajib taat pada pimpinan, maka Muawiyah bin Abi Sufyan meminta kepada Hasan bin Ali untuk menjelaskan hasil kesepakatan yang telah dicapai antara Hasan Bin Ali dengan Muawiyah dalam sebuah pertemuan di maskin kepada para pendukungnya, Permohonan Muawiyah 4 telah disetujuinya, Hasan bin Ali kemudian mengumpulkan para sahabat setianya di kediaman Madain, sebelum memberikan penjelasan lebih jauh kepada para sahabat setianya di Masjid Kufah. 

 2. Memindahkan Pusat Kekuasaan ke Damaskus Adapun selanjutnya adalah memindahkan pusat pemerintahan Islam dari Madinah ke Damaskus. Pemindahan ini dilakukan karena di kota itulah pusat kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan sebenarnya. Di kota itulah para pendukung setianya berada. Dari kota Damaskus Muawiyah mengendAli kan pemerintahan dan mengatur berbagai kebijakan politik .

3. Mengangkat Para Pejabat Gubernur Muawiyah bin Abi Sufyan telah memilih beberapa orang yang dapat memperkuat posisi kepemimpinannya. Mereka adalah Amr bin Al-Ash, Mughirah bin Syu’bah, dan Ziyad bin Abihi. Kedua orang yang di sebutkan itu, Amr dan Al Mughirah bin Syu’bah, memiliki peran yang sangat penting, baik sebelum atau sesudah Muawiyah menjadi Khalifah. Sementara Ziyad baru memainkan peran pentingnya ketika ia di beri kesempatan oleh Muawiyah untuk menduduki jabatan penting di dalam pemerintahan Bani Umaiyah, yaitu gubernur Basrah. 

Sedangkan kebijakan politik Muawwiyah bin Abi Sufyan dalam aspek Siyasah Dusturiyah, terdapat perbedaan dibandingkan dengan pada masa nabi dan Khulafaur Rasyidin. Perbedaan tersebut dapat dilihat dalam kebijakan politik penguasa Dinasti ini seperti : 

a. Pemindahan pusat pemerintahan Islam dari Madinah ke Damaskus Madinah sebagai pusat pemerintahan banyak dianggap sebagai sunnah Nabi Muhammad SAW yang harus dipertahankan. Sehingga beberapa generasi kekhalifahan sebelumnya tidak satupun yang memindahkan pemerintahan tersebut. 

b. Perubahan Sistem Khilafah menjadi Sistem Monarki Kebijkan dan Keputusan Politik Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan dalam pemerintahannya adalah mengubah sistem pemerintahan yang sebelumnya berbentuk syura atau demokratis menjadi sistem monarki (kerajaan) dengan mengangkat putranya, Yazid bin Muawiyah menjadi putra mahkota untuk menggantikannya sebagai Khalifah. 

Dengan demikian Muawiyah dituding yang mempelopori meninggalkan tradisi di zaman Khulafa al-Rasyidin di mana Khalifah ditetapkan melalui pemilihan oleh umat. Karena itu, keputusan politik Muawiyah itu mendapat protes dari umat Islam golongan Syi'ah. Sedang alasan yang dikemukakan karena ia khawatir akan timbul kekacauan dan akan mengancam stabilitas keamanan kalau ia tidak mengangkat putra mahkota sebagai penggantinya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline