Lihat ke Halaman Asli

Antara Manggarai dan Gondangdia

Diperbarui: 11 Juli 2022   06:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang itu, seorang Ibu duduk disampingku. Usianya berkisar antara 60 sampai 65 tahun. Ia duduk bersela dengan santai sembari memandang ke depan. Sesekali kuperhatikan pandangannya ke arah penumpang dan jalan. Bagiku, tidak ada yang istimewa dengan cara pandangnya. Hampir semua orang di kereta melakukan hal yang sama. Yang beda, hanya mereka yang terpejam.

Meski usianya renta, gaya berbusana yang modis berbalut sunglasses dengan corak tutul membuatnya terlihat muda dari umurnya. Kurang dari 120 detik saya berada di sampingnya, lalu perbincangan dimulai.

"Mau ke mana, dek?"
"Ke gondangdia Bu"

Dengan lugas dia kembali mengajukan pertanyaan. Langsung pada profesi. Begitu cekatan dan hampir mendekati. Seolah tau kemana kakiku akan melangkah. Padahal ada banyak lapangan pekerjaan di sekitar Gondangdia.
"Oh, kamu jurnalis ya?"
"Bukan bu."
"Oh, trus apa donk?"

Seraya menerka mungkin dari penampilanku atau memang instingnya saja yang kuat, kami lanjut berbincang hal lain.

"Ibu biasanya nonton siaran ..."
Aku lupa nama persis kanalnya. Intinya tentang religi.
"Setiap pagi dan sore, Ibu belajar tajwid karena kadang Ibu banyak salahnya."

Akupun mengangguk-angguk seraya terbayang kebiasaan Ibuku. Ia juga suka menonton kanal religi.

Aku kira, ceritanya hanya seputar itu saja. Keseharian yang hampir merata dilalui oleh para Ibu-ibu berumur lainnya.

Memang penampilannya mendukung kisah yang disampaikan. Kuperhatikan, jempolnya terus bergerak menekan tasbih digital.

Tapi, ternyata cerita lanjutannya lumayan mengejutkan.

"Kamu suka hang out, ga?"
"Biasanya di mana?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline