Lihat ke Halaman Asli

Andreas Neke

Pegiat media sosial

Romo Gusti dan Mama Sindy, Gereja akan Ditinggalkan?

Diperbarui: 3 Mei 2024   09:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.lintasntt.com/wp-content/uploads/2024/05/mama-sindy.jpg

Dua atau tiga minggu terakhir, Gereja Katolik dihebohkan dengan kasus yang menimpa Romo Gusti dan Mama Sindy, yang nota bene Romo Gusti adalah seorang imam Keuskupan Ruteng, sedangkan Mama Sindy adalah seorang ibu dan istri dari seorang suami yang bernama Valentinus.

Lepas dari kebenaran yang masih simpang-siur, kasus ini ternyata telah menyita atensi publik teristimewa umat Gereja Katolik Keuskupan Ruteng dan Indonesia pada umumnya.

Kasus ini juga telah melahirkan beragam komentar yang berseliweran di media sosial. Ada komentar positif dan ada pula yang negatif. Dan secara pribadi, saya teramat terkejut membaca sebuah komentar yang mengatakan bahwa Gereja akan ditinggalkan, dengan merujuk pada kondisi terkini Gereja Eropa masa kini.

Pertanyaannya adalah apakah Gereja dan secara khusus Gereja Katolik Nusa Tenggara akan ditinggalkan? Biarlah Sang Waktu yang akan menjawabnya, dan biarlah waktu akan membuktikan semuanya. Tetapi yang pasti, jika Gereja dan secara khusus kaum klerus atau kaum tertahbis dan biarawan-biarawati tidak segera merefleksikan makna panggilan hidupnya secara jujur, maka segala hal mungkin saja bisa terjadi.

Secara kasat mata, saya mencatat dua hal pokok yang menyebabkan kemerosotan Gereja Nusa Tenggara dewasa ini. Dua hal yang dimaksud adalah transparansi pengelolaan keuangan dan kemurnian hidup selibat. Dalam mana kedua hal yang dimaksud telah melahirkan skeptisisme dan apatisme terhadap Gereja, yang pada akhirnya menjauhkan umat beriman dari aktivitas kehidupan menggereja.

Transparansi Keuangan 

Kehidupan Gereja tidak dapat lepas dari "uang" sebagai sarana yang memperlancar segala aktivitas menggereja. Pada kenyataannya umat tidak pernah mengeluh atau tidak memberikan kewajiban finansial untuk membantu pelayanan Gereja.

Namun demikian Gereja tidak dapat menutup mata terhadap beragam kasus besar yang telah melanda Gereja yakni korupsi dan pelayanan sakramen yang berorientasi "uang". Dan ditambah lagi dengaan penggunaan dan pertanggungjawaban yang jauh dari kata transparan.

Kedua hal ini pada akhirnya menjadi biang skeptisme dan apatisme umat. Bahkan tidak jarang melahirkan pemberontakan pribadi lewat sikap menjauhkan diri atau tidak mau terlibat sama sekali dalam kehidupan Gereja. Bahkan yang lebih buruk dari itu adalah tidak sedikit umat Gereja Katolik yang dengan terang-terangan mengaku akan berpindah Gereja atau bahkan berpindah agama.

Naif rasanya jika patokan dan tolak ukur iman adalah uang. Namun demikian, Gereja tidak dapat diam dan menutup mata terhadap kenyataan ini. Artinya bahwa Gereja perlu memikirkan cara yang tepat untuk mengelola keuangan Gereja secara jujur dan transparan.

Dan lebih lanjut adalah berkaitan dengan pelayanan sakramen-sakramen yang "menyandera" kebutuhan iman umat, pada hemat saya Gereja tetap harus berpatokan pada norma kanonik yakni "salus animarum suprema lex" (keselamatan jiwa-jiwa adalah hukum yang utama). Dan ini mengharuskan Gereja berpikir dan bekerja kreatif untuk menghidupi pelayanan Gereja dengan tidak serta-merta hanya mengaharapkan iuran atau dana-dana lain dari umat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline