Lihat ke Halaman Asli

Andi Wi

TERVERIFIKASI

Hai, salam!

Cerpen | Seni Berdoa untuk Orang yang Kita Cintai

Diperbarui: 15 Oktober 2017   23:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: https://www.instagram.com/dinasaurus.art/

Antara kau dan aku, jangan minta pendapat orang lain. Rasanya jika melihat kau mendengar mereka, membuatku merasa semakin kesepian saja. Dan itu benar.

Dua hari setelah kita berpisah, aku sering melamuni banyak hal di atas kendaraanku. Memikirkan tentangmu, bukan tentangmu dan sama sekali bukan tentang kita berdua.
Terkadang aku memang sengaja berhenti, memarkir kendaraanku di tepi trotoar hanya ingin tahu caranya menyaksikan bagaimana pada akhirnya seseorang dikelabuhi selintas pikiran mereka sendiri, yang membuatnya berubah pikiran hingga memutuskan mengemudikan kendaraannya lagi, karena tak pernah yakin dapat mencapai keputusan mutlak yang segala hal tentang resikonya kelak menguntungkan atau justru akan disesalinya di masa depan.

Aku tidak pernah menyesal berpisah denganmu. Dan kulihat dengan kedua mata kepalaku sendiri, kau berbahagia di waktu yang sama. Sungguh melegakan jika urusan perpisahan ini berjalan lancar tanpa kesulitan laksana kebutuhan pagi hari ketika kita buang air besar.

Akan tetapi aku mudah sekali kecewa dengan jalan berlubang yang seolah-olah mengaku diciptakan untuk memantul-mantulkan kepala pengendara pelamun sepertiku. Bagai anak kecil yang suka bermain botol soda, mereka mengocok-kocok isi kepalaku. Yang membikin jaringan sarafku kembali konsleting, yang akibatnya harus kusesalkan karena mampum membuatku berubah pikiran lagi.

Kupikir, aku kesepian dan menyesali keputusanku berpisah denganmu. Sementara itu, tidak; kau masih mengambil keuntungan pertama dari perpisahan ini: kau ingin bahagia. Dan rupanya, kau berhasil.

Dua hari sebelum kita berpisah. Aku membayangkan kita terlibat dalam adegan drama yang masing-masing tokoh-tokohnya hanya dimainkan oleh kita berdua. Kau sebagai laki-laki pemurung, keras kepala, dan susah diatur. Sementara aku, aku lah perempuan pemarah itu. Yang penyayang namun juga tak mau mengalah.

Maka ketika kau bilang padaku di atas panggung, "Sebaiknya pikirkan dulu. Aku tak pernah memikirkan hidup tanpamu. Tapi jika sudah jadi keputusan bulat demi kemaslahatan bersama. Kita bisa melakukannya tanpa ragu-ragu."

Dan ketika kujawab dengan nada paling tak ramah, "Ya. Tapi kali ini aku berkeras. Ingin berpisah denganmu. Aku tak ingin membuatmu kecewa lebih banyak."

Kau, dengan nada yang kukenal betul intonasinya itu, membalas, "Asal kita cocok dalam segala hal. Sayangnya kecocokan itu cuma lahir kalau kita tidak saling membebani. Aku tak pernah berpikir bahwa kau mengecewakanku."

Ya. Dialog percakapan sore itu memang sama sekali tak jelas. Seperti rekaman kaset yang diputar terbalik. Apalagi jika kita menginginkan simpati penonton atau pendengar: kepada siapa sebaiknya mereka memihak. Namun faktor-faktor di samping alasan kita bertengkar di suatu sore pertengahan Mei yang gerimis, kurasa, kita berdua tak bisa menyembunyikan apa-apa, detik-detik paling penting untuk dilewatkan bersama bahwa: kau menginginkan bahagia, dan, aku tak bisa memberimu kebahagiaan.

Dua tahun setelah kita berpisah. Aku memutuskan menjadi rakyat sipil. Yang memang dulunya cuma warga biasa. Bedanya warga biasa bergabung bersama rukun tetangga, rukun warga, sampai rukun-rukun lainnya yang terdaftar sebagai anggota kelompok yang diakui karena ketetapannya hadir di suatu lingkungan. Sementara rakyat sipil, bertindak di bawah kuasa Yang Maha Adil. Sehingga segala hal tindak tanduknya sering dicurigai asing, terlebih jika mengingat riwayat hidupnya selama ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline