Lihat ke Halaman Asli

Andi Samsu Rijal

Peneliti Bahasa dan Budaya

Orang-orang Belanga

Diperbarui: 14 April 2024   23:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Idul Fitri ini seperti jalan menuju makam ibu. Jalan yang terbuka. Kiri kanan dengan sempadan jalan yang elok. Orang-orang di sekitar hingga di tempat tujuan begitu ramah dan bijak. Mereka menyapa siapa saja yang datang. Tak pernah bertanya mengapa kamu baru pulang kampung. Mereka hanya bertanya kapan datang dan kapan akan berangkat lagi. 

Mengapa pertanyaan itu ada kepada siapa yang ditemuinya? Mereka akan memberikannya hadiah istimewa. Mereka bangga jikalau orang Belanga itu ada yang merantau. Mereka tak perduli sukses atau belum. Mereka hanya ingin tahu atau ingin diberi tahu seperti apa keadaan dirantau. Kelak anak-anak mereka jadikan peta jalan. Itu saja sudah cukup bagi mereka. 

Tidak sampai di situ. Orang-orang Belanga akan menelepon kamu. Apakah sudah tiba dengan selamat. Kapan bisa kami menelepon lagi. Hanya sekedar untuk memastikan apakah oleh-oleh yang diberikannya tiba pula dengan aman. Tak perduli suka atau tidak. Baginya diterima pemberian dari mereka adalah sebuah anugerah. Sebab orang-orang yang datang dijadikannya sebagai ladang pahala. Jalan untuk bersedekah. 

Di sana seperti mutiara yang terpendam. Tak ada raja dan ratu di sana terlebih budak. Meski di sana adalah pusat kerajaan tertua di negeri Bugis. Namun keluarga bangsawan hanya dilekatkan sampai pada anak pertama raja seperti di negeri tetangga yakni Mandar. Berarti hanya pada generasi seratus dua ratus tahun lalu. Tepat setelah Nippong dan Belanda menjajal negeri kita lewat raja. Lalu diberikannya jabatan raja bagi siapapun yang akan berkompeni dengannya. 

Negeri Belanga kini sudah aman dan tenteram. Padi ditabur terbuai dengan baik jadi beras istana. Besi diolah jadi pusaka. Kayu hutan diolah jadi surga-surga yang nyaman. Rotan dirajut hasil apa saja. Benang anyaman bambu jadi songkok raja. Benang anyaman wol jadi baju perisai dan sarung tenunan. Tepung singkong dan tepung beras jadi kue kesukaan raja dan ratu. 

Apa lagi yang tak ada di sana? Memang jauh dari jarak tempuh. Namun orang-orang Belanga begitu dekat di hati siapa saja. Namamu akan dikenang sekali menabur benang. Namamu tak akan diulang bila gagal mencipta kenangan. 

"Aku pulang dulu" kataku sembari meneteskan air mata kepada orang-orang yang pernah menatapku sepanjang jalan di sempadan jalan itu. 

"Masalahmu, masalah kami jua, jangan sungkan memberi kabar. Kau tak jawab senyum kami, kau tak jawab salam kami tandanya kamu butuh kami. Kami ada untuk kamu. Tak ada materi kami punya, ada doa yang tulus sebagai mikraj kami kepada tuhan untuk kamu". Kata dari salah satu dari mereka yang terakhir aku salami pada sebuah penutup perjamuan di meja makan. 

"Terima kasih" di sana tak mengenal jaya terima kasih. Tak ada dalam kamus Bugis Belanga akan kata terima kasih. Itu hanya ada dalam kamus Melayu. 

"Jangan ucapkan itu, terima saja, anggap saja moyang kami pernah berutang Budi pada moyang kami. Sebaliknya moyang kami pernah berbuat baik pada moyang kami. Itu berarti juga bagi cucu-cucu kami kelak". Demikian penutup dari salah seorang yang kami anggap sebagai tetua di kampung Belanga itu.

"Pandanglah mata kami. Di kedalamannya engkau menemukan ketulusan jikalau engkau duluan berkedip. Kami selalu ada di jalur yang benar sekalipun kelak Tuhan kami dengan terpaksa memiskinkan kami dari harta benda". Sambungnya dalam sebuah ucap perpisahan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline