Lihat ke Halaman Asli

Andika Jovan

Mahasiswa

Resesi Global 2023 dan Dampaknya bagi Indonesia

Diperbarui: 7 Maret 2023   12:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Tahun 2023 diperkirakan akan menjadi tahun terburuk ketiga dalam indikator pertumbuhan ekonomi global abad ini, setelah tahun 2009 dengan krisis keuangan global yang bermula di Amerika Serikat dan tahun 2019-2020 ketika maraknya lockdown COVID-19 yang membuat macetnya keberlangsungan ekonomi di banyak negara pelaksana kebijakan lockdown.

Para ahli dan lembaga ekonomi dunia memperkirakan pada tahun 2023 akan sulit dan diproyeksikan pertumbuhan ekonomi akan melambat. ”Sepertiga ekonomi dunia akan mengalami resesi yang dalam” demikian analisis IMF (International Monetary Fund) 

Perang Rusia-Ukraina, kenaikan harga barang, suku bunga yang naik dan penyebaran COVID-19 di Cina yang membebani ekonomi global. Berikut pendapat penulis mengapa ekonomi di tahun 2023 bisa dibilang gelap dengan berdasarkan data yang ada.

  • Ketegangan Geopolitik

Invasi Rusia ke Ukraina pada awal 2022 menyebabkan adanya perang di Ukraina dan sanksi berat terhadap Rusia memicu ketegangan geopolitik. Hal ini semakin mendorong perekonomian global ke dalam suatu ketidakpastian. Perang juga melemahkan permintaan, serta penawaran barang energi seperti minyak dan gas, berkurangnya pasokan barang komoditas hingga pangan untuk skala global.

Seperti yang diketahui, Rusia merupakan salah satu pengekspor migas dan energi terbesar di dunia dan juga produsen utama pupuk yang menghasilkan 13% dari total global. Untuk Rusia dan Ukraina, kedua negara ini merupakan pengekspor gandum yang kisarannya menurut Gro Intelligence mencapai 29% dari total ekspor gandum global. Kondisi ini tidak hanya mengganggu perekonomian di wilayah ekonomi Eropa Timur, namun juga terhadap dunia secara keseluruhan .

  • Suku bunga yang tinggi

Ketika bank sentral berlomba-lomba memperketat aliran uang dengan menaikkan suku bunga dalam menghadapi lesunya perekonomian serta naiknya harga barang ke level tertinggi selama beberapa tahun kebelakang.

Dengan adanya kecendurungan dari The Fed, bank sentral paling berpengaruh di dunia yang dimana suku bunga saat ini berada di kisaran 4,5%-4,75%, tertinggi sejak Oktober 2007. Suku bunga yang lebih tinggi membuat pinjaman menjadi lebih mahal, yang membuat investor enggan menaruh uangnya untuk saat ini.

  • Naiknya harga komoditas dilingkup global

Dunia saat ini tengah menghadapi ancaman disrupsi ekonomi seperti naiknya harga komoditas. Laju inflasi barang harus diredam karena dapat mempengaruhi banyak hal. Tidak hanya Bank Central, seluruh masyarakat diharapkan untuk bekerja sama dalam mengendalikan inflasi, seperti tidak mengurangi daya beli, mengikuti intsruksi dari pemerintah, dan tidak panic buying .

Naiknya harga barang komoditas telah mendongkrak inflasi di Amerika Serikat dan menghasilkan efek domino ke negara-negara lain, yang menyebabkan tingkat suku bunga bank sentral AS yang meningkat dan berujung pada penguatan nilai tukar dollar AS. Diproyeksikan pada tahun 2023, nilai dollar AS akan terus menguat serta akan menjadi ancaman serius bagi negara-negara yang memiliki utang dalam dollar AS dan deficit APBN yang tidak berkelanjutan.

  • Krisis energi

Krisis energi yang melanda Eropa akibat memanasnya konflik Rusia-Ukraina. Hal ini tercermin dari tingginya permintaan batu bara di negara penghasil dan hali ini mengakibatkan terganggunya sektor industri akibat krisis energi.

Pada akhir tahun 2022, negara-negara di Eropa memutuskan untuk kembali menggunakan batu bara untuk memenuhi kebutuhan energinya. Seperti diketahui, negara-negara Eropa telah berkomitmen meninggalkan energi fosil dan beralih ke energi terbarukan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline