Lihat ke Halaman Asli

Ai Maryati Solihah

seorang Ibu dengan dua orang anak

Menghilangkan Stigmatisasi pada Anak

Diperbarui: 8 Oktober 2017   06:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pembahasan Anak-anak yang berhadapan/berkonflik dengan hukum harus pula membahas tentang bagaimana anak-anak yang terjerat kasus itu dipulihkan namanya dan tidak mengalami stigmatisasi atau pelabelan buruk karena dianggap mantan napi. menghilangkan stigmatisasi perlu kerjasama yang erat dengan keluarga dan masyarakat, terutama orang-orang dewasa di sekitarnya dan teman sebaya. Dalam banyak kasus, stigmatisasi memebrikan dampak yang membahayakan pada anak, dia menjadi kehilangan kepercayaan diri, kehilangan semangat dan berakhir dengan kematian.

Pada dasarnya penanganan anak yang berhadapan dengan hukum harus menyeluruh. Anak-anak yang berhadapan dengan hukum dalam catatan KPAI selama tahun 2011 hingga 2017 mencapai 9.226 kasus dengan pemilahan anak sebagai pelaku, korban dan saksi dalam peristiwa-peristiwa melawan hukum. Data ini berkelindan dan terus menanjak seiring pergeseran sosial budaya yang mempengaruhi pola hidup, norma-norma dan etika bergaul dalam kehidupan di masyarakat.

Dalam konteks kekerasan pada anak, stigmatisasi juga termasuk salah satu bentuk kekerasan. bentuk kekerasan sekurang-kurangnya dibagi menjadi 4; yakni kekerasan Fisik, dicubit, ditendang dan lain-lain. Kekerasan Psikis adalah intimidasi atau ungkapan-ungkapan yang menyerang emosi dan psikologis seseorang, kemudian kekerasan seksual seperti pemaksaan hubungan yang mengarah pada aktivitas seksual, perkosaan, eksploitasi seksual, kemudian bentuk kekerasan penelantaran, yakni anak-anak yang tidak memperoleh pengasuhan dan pemeliharaan yang baik. 

Hal ini banyak diderita anak-anak kita dalam banyak kasus anak jalanan dan korban perceraian orang tua. berikutnya kekerasan dalam bentuk Bullying, yaitu perundungan atau persekusi dalam memberi pelabelan buruk seseorang. biasanya menggunakan media sosial dan biasanya peristiwa bullying sangat rentan terjadi di sekolah yang melibatkan teman sebaya, walau tidak jarang juga bullying di rumah sendiri dengan membanding-bandingkan dan merendahkan martabat salah satu anggota keluarga.

Stigmatisasi biasanya berbentuk kekerasan verbal seperti ungkapan-ungkapan kebencian, mengintimidasi, gelar-gelar/sebutan yang memberikan rasa tidak nyaman, melukai perasaan dan menjatuhkan harkat dan martabat seseorang. Anak-anak ini sangat rentan pada kekerasan Verbal dan masuk katagori kekerasan Psikis yang menyerang psikologis, emosi dan ketahanan jiwanya. Padahal proses hukum pemidanaan anak yang sudah diatur dalam UU No 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana  Anak mengatur tentang Reunifikasi, atau proses akhir dalam pembinaan anak, dengan pengembalian anak pada keluarga dan masyarakat agar dia menemui kehidupan yang pulih seperti sedia kala.

Selain itu, anak-anak korban stigmatisasi diterangkan dalam UU No 35/2014 tentang perlindungan Anak termasuk katagori perindungan khusus pada anak. Karena mereka menjadi korban atas pelebelan buruk yang tersemat pada orang tua di sekitarnya. Seperti bahasa anak teroris, anak Napi, anak PSK dan alain-lain. Pendekatan pada anak ini tentu membutuhkan kerjasama yang baik dengan keluarga dan masyarakat. Pemerintah juga perlu hadir dalam memberikan pelayanan rehabilitasi mental dan mediasi dengan berbagai pihak jika dibutuhkan untuk perlindungan mereka. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline