Lihat ke Halaman Asli

Sebanyak Rp 850 Juta untuk Acara IJTI

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SURABAYA – Siang ini, Rabu (30/10), IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) menggelar acara konferensi pers di Surabaya tepatnya di Hotel Bumi Surabaya.Konferensi ini mendatangkan sekitar 250 kontributor televisi yang tersebar dari Papua hingga Aceh.

Independensi jurnalis televise menjadi isu penting menjelang pemilihan Anggota Legislatif dan Presiden 2014. Pers Indonesia, khususnya jurnalis penyiaran harus tetap berdiri tegak, berada di garda paling depan untuk menjaga kepentingan public meski mendapat ujian berat.

Acara yang juga mendatangkan pembicara dari ahli jurnalisme televisi luar negeri ini pun menyedot biaya Rp 850 juta.

Ketua Umun IJTI Yadi Hendriana dirundung pertanyaan terkait dana penyelenggaran acara internasional ini yang diduga mencapai miliaran rupiah.

"Biaya yang kita kumpulkan kontra prestasi dari sponsor, sebanyak Rp 850 juta untuk menyelenggarakan acara ini," kata Yadi Hendriana di hadapan wartawan saat menggelar konferensi pers, Rabu (30/10/2013).

Yadi juga menjelaskan, nilai biaya tersebut tidak kurang dan tidak lebih dari yang telah disebutkan. Soal sumber dana pun, pihaknya mengaku berusaha semaksimal mungkin untuk tidak mengikat diri ke sponsor.

"Kami tidak mengikatkan diri. Biaya yang kita kumpulkan clear kontra prestasi dari sponsor, tidak ada kaitannya dengan partai politik, tidak ada kaitannya dengan pemilik modal," paparnya.

Acara yang digelar hingga 1 November 2013 ini mendatangkan para ahli jurnalisme internasional, diantaranya berasal dari Thailand, Timor Leste, India, Filipina, Australia, dan sebagainya.

Mereka selama dua hari ke depan ini akan membahas berbagai persoalan yang menimpa para jurnalis, khususnya kontributor (jurnalis lepas) yang bekerja di daerah-daerah pelosok.

Seorang kontributor Trans7 di Makassar, Hudzaifah Kadir (30) menceritakan para jurnalis di daerah pelosok sering menjadi korban kekerasan. Saat kasus tersebut dicoba diproses di kepolisian, kasus mandek.

"Kami paling sering menjadi korban kekerasan, ibaratnya seperti makan 3 kali dalam sehari. Saat diusut, paling-paling juga mandek di tingkat polsek. Alasannya polisi kurang memiliki bukti," tutur pria yang telah 8 tahun menjadi kontributor ini di hadapan wartawan.

Tak hanya itu, agenda perhelatan besar jelang Pemilu 2014, juga menjadi catatan utama. Jurnalis kembali disatukan, kerja profesional syarat indepedensi dan integritas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline